Etis dan Etos

Sampai siang ini, dua tahun belakangan, saya ‘menumpang-teduh’ di rumah teteh (kakak perempuan). Dan kepindahan saya dari kos-kosan di Bekasi ke rumah teteh di Bogor bersamaan dengan lahirnya putri keduanya. Ya, sekisar dua tahun lebih empat bulan. Tidak terasa ternyata. 

Saya sungguh takjub mengikuti perkembangan perempuan mungil itu semenjak ia masih bersosok bayi merah, beberapa bulan kemudian ia tertawa-tawa melihat cecak di dinding atau mendengar mainan yang menimbulkan bunyi gemerincing, mengeja diksi ‘mama’ dan ‘ayah’ dan ‘nenen’, tengkurap, ngesot ke belakang, merangkak, berdiri, jatuh dari berdiri, bangkit dari berdiri, berjalan menggapai-gapai, berjalan tertatih-tatih, berjalan santai, berlari-lari. Dan, sejak ia mampu berlari-lari, timbullah masalah. 

Saban waktu―pagi, siang, sore, bila sedang berada di rumah―kerap saya saksikan kehebohan di rumah. Pagi hari setelah ayah dan kakaknya berangkat, si kecil mengacak-acak rumah yang sudah dirapikan mamanya; menumpahkan sarapan dari mangkuknya, membanting remote tv, melempar blackberry, mencoret-coret dinding maupun melukis tangannya dengan spidol. 

Setelah kakaknya yang sudah kelas tiga SDIT pulang dari sekolah pada pukul tiga, rumah semakin ramai. Si kakak mempunyai rasa tak ingin tersaingi adiknya. Enggan mengalah dalam segala; berteriak tatkala mainan atau buku miliknya dipegang bahkan sekadar disentuh oleh si adik. Kalaupun mengalah, pasti diakhiri dengan tangisan. Mamanya menyumpah-nyumpah tabiat mereka.

Sebelum ayahnya pulang, saya harus berangkat kuliah. Dan sepulang kuliah pada pukul sepuluh malam, rumah tak lagi ramai sebab mereka sudah terlelap.

Saya iseng-iseng menerka tipe kepribadian ketiganya. Teteh saya Sanguinis-Koleris. Suaminya Melankolis-Plegmatis. Sempat mengikuti psikotes, si kakak sama dengan mamanya, yakni lebih dominan pada sisi Sanguinisnya. Tetapi, si adik lebih dominan pada Koleris, sehingga ia menjelma penguasa di rumah. Tak ayal, meledaklah kehebohan itu tiap hari. 

Bukan. Kehebohan itu bukan perkara bagi saya sebagai om mereka yang menyesaki ‘istana’ keluarga mereka. Hmm, sebentar, sepertinya pernah juga saya menggerutu dalam hati. Kejadian itu terhelat pada pertengahan tahun ini. Manakala saya sedang mengetik tugas kuliah ataupun naskah cerita, ponakan saya mengamuk saban malam, menangis-menjerit-merintih sampai-sampai air matanya tak mengalir saking lamanya durasi tangisnya. Kala itu ia sedang disapih dari ASI. Dua jam kemudian, barulah isaknya terhenti setelah ayahnya terpaksa membentak-bentak sembari melafal istigfar. 

Gara-gara itu, saya lebih memilih meninggalkan tugas kuliah dan naskah-naskah itu, dan memilih tidur saja, sebab saya paling tidak bisa berpikir dan menulis tanpa keheningan. 

Seminggu kemudian, teteh saya diopname lantaran dehidrasi yang disebabkan kelelahan bergadang; menggendong meredakan tangis si kecil, sedangkan paginya ia harus bergumul dengan kebaktian rumah tangga. Singkat kata, sampai lebaran teteh saya sembuh, sehingga ia tidak perlu berlebaran di rumah sakit. Namun usai pulang dari mudik lebaran, giliran si kecil itu yang harus menginap di hotel medis.

Sekarang, si mungil tidak lagi mengamuk saban malam. Namun, ia dan kakaknya masih terus memelihara pertikaian. Ada-ada saja hal sepele yang mereka soalkan. Hampir setiap hari pula saya simak teteh saya dan suaminya menasihati si kakak supaya mengalah terhadap si adik, sampai-sampai saya hafal dan bosan. Terkadang nasihat itu bernada tinggi, alias memarahinya sampai si kakak pundung seharian. Ujar orangtuanya, si adik masih kecil, tidak tahu apa-apa, yang lebih gede yang mesti mengalah. Kasihan sebetulnya si kakak itu. 

Sehari-hari hidup bersama mereka, saya malah kepikiran diri saya sendiri. Saya ialah anak bontot dari lima bersaudara. Saya tidak punya adik, sehingga gagal merasakan seutuhnya ihwal peran kakak yang selalu kalah ataupun dikalahkan. Mungkin dahulu saya malah berada pada posisi si kecil yang egois dan senantiasa dimenangkan oleh mama papa. Tetapi, izinkan saya untuk berempati terhadap si kakak dengan menuliskan ini.

Hmm, mohon luruskan andai saya keliru. Saya percaya, sifat dan karakter manusia tak akan berubah dari kecil sampai dewasa. Memang, ada orang yang pernah bilang, bila tak mampu mengubah sifat atau tabiat burukmu, kau hanya akan jadi pesakitan, mustahil jadi orang sukses. Ya, itu betul. Sangat. Tapi, menurut saya, mereka-mereka yang sukses itu sekadar berhasil menambahkan topeng di wajah dan akal dan hati mereka. Semacam serigala berbulu domba. Atau tikus got bertuksedo.

Manusia dewasa mengedepankan etis dan etos. Segala tindak-tanduknya, haruslah sesuai dengan alur etika, kebiasaan, adat, agama, hingga tren, tutur manusia dewasa itu jemawa. Namun, apakah mereka selalu benar? O, saya rasa pengusaha beristri banyak itu orang dewasa. Saya rasa tetangga yang nyinyir itu orang dewasa. Saya yakin pembobol supermarket itu orang dewasa. Saya percaya yang mulia pengacara-pengacara konyol dan (maaf) tolol di acara Indonesia Lawyers Club itu orang dewasa. Dan, saya yang pemalas ini sudah terperangkap pada rentang usia manusia dewasa. Menyedihkan. 

Saya lebih memilih menyaksikan pertikaian adik imut dan kakaknya di rumah teteh yang walaupun kadang bikin senewen, toh selalu diakhiri oleh happy ending, ketimbang menonton televisi. Mereka, anak kecil itu, selalu jujur meruahkan ekspresi dan prinsip masing-masing, tanpa intrik dan kepentingan tertentu. Sungguh. Saya malah berharap, jangan sampai mereka bertingkah alim sebagaimana kami yang mengaku dewasa, padahal di balik itu, entah. 

Ponakanku, kalian sudah berperilaku sewajarnya. Orang-orang tua seperti kami yang semestinya belajar kemanusiaan dari kalian.

6 Komentar

  1. iya bener banget. cenel tivi udah dikuasai orang partai ya, jadi kadang gak netral. mending nonton gerak gerik manusia di sekitar kita aja yg lebih jujur dan tulus. haha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha, bos media terbesar di sini juga kan calon wakil presiden mendatang ya :)))

      Hapus
  2. wow ... keren bro tulisannya, aku jg percaya kl karakter itu emang nggak bisa dirubah, lalu bgmn dr sononya sdh membawa sifat buruk bro ? apakah kl yg bersangkutan bener bener berniat ingin berubah tetep termasuk yg nggak berubah total ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe, sebenarnya siapa aja bisa berubah kok, mbak. asal nyaman dan emang masih sesuai sama prinsip masing-masing aja ;)

      Hapus
  3. Aq jga bru punya ponakan maren.
    Tp cmn sebulan leat perkmbangannya.
    Semoga jd pimimpin yak kalo sanguinis.
    Aq mah melankoliis.
    Wkwkwk

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama