Si Baik dan Si Jahat


Tidak ada orang baik dan tidak ada orang jahat. Masing-masing orang punya keduanya. 
Saat tak sengaja mendengar berita di televisi―sebab saya jarang sekali menonton televisi kecuali bila ada siaran langsung pertandingan Timnas U-19―yang mengabarkan tentang suami yang ‘membunuh’ istri sirinya, saya terkesiap. Bagaimana mungkin, bapak itu dikenal para tetangga sebagai sosok berwibawa―lantaran statusnya sebagai pejabat BPK, ramah, rajin beribadah, dan tidak pernah terlibat konflik sesama tetangga. Alih-alih dikenal berkat melakukan tindakan seperti sekarang yang―mungkin―melampaui perbuatan perampok, apalagi bila dibandingkan dengan kejahatan preman cap pasar. Tetapi, nyatanya hal itu sungguh-sungguh terjadi. 

Disewanya beberapa orang pembunuh bayaran untuk melumat nyawa perempuan yang dia cintai itu di sebuah apartemen. Dan saat kejadian berlangsung dengan getir, dia masih di luar negeri, dan baru pulang saat pembunuh bayaran sudah berada di tahanan. Akhirnya, dia pun ditangkap pihak berwajib setelah mendengar kesaksian para pembunuh bayaran itu. 

Kendati mengelak dari tuduhan polisi dengan pelbagai dalih, status tersangka telah disematkan kepadanya. Dan motif rencana pembunuhan pun sedikit tersingkap: tersangka sudah lelah menyaksikan hartanya terus-menerus diperas istri sirinya. 

Mungkin tersangka baru menyadari, perempuan bukanlah benda mati yang tetap bergeming sekalipun cuma kita pajang di bufet. Perempuan adalah manusia, yang butuh makan tiga kali sehari, butuh dibalut dengan baju bagus dan kosmetik mahal, dan seabreg kebutuhan sekunder atau tersier lain. Dan, bukankah perempuan itu makhluk lemah, yang sangat butuh kasih sayang. Ya, tentu, kasih sayang itu sudah termasuk perawatan ke salon untuk medikur pedikur setiap pekan, memborong tas Prada, dan pergi arisan dengan teman sosialitanya yang menghabiskan puluhan juta per bulan. 

Kali ini saya tidak sedang menyoal hedonisme perempuan, karena saya pikir itu tergantung dari bagaimana seorang laki-laki mendefinisikan kasih sayang terhadap sang terkasih, yang dicurahkan dalam berbagai bentuk. Namun, pertanyaan yang menggelayut dalam benak saya: 

Di mana sebetulnya tempat persembunyian orang-orang baik?
Jujur, setelah menyimak berita itu barang sekelebat, saya langsung teringat kepada salah satu teman SMP saya, yang saya kenal cukup baik karena dia sempat duduk sebangku dengan saya sekisar dua tahun. Dia dikenal guru-guru sebagai berandalan, yang kerap kali menorehkan namanya berkat ulahnya sendiri pada buku hitam di ruangan BP. Sedangkan oleh temannya sesama berandal, dia dikenal sebagai orang yang tak mengenal takut. Dan bagi teman perempuannya, dia dikenal sebagai ‘penculik’ karena suka membawa kabur pacar orang lain ke tempat-tempat dingin seperti Lembang dan Ciwidey, dan anehnya, perempuan itu mau dan enjoy-enjoy saja ‘diculik’ dia. Selain itu, masih banyak tindakan nekat yang dia perbuat hingga dia lulus dari SMP dengan nilai lumayan baik. 

Di balik perbuatan brutalnya, saya tetap mau duduk sebangku dengannya. Selain lantaran takut diapa-apakan olehnya―ya, walaupun saya berbadan besar, saya dikenal orang lain sebagai pengecut, saya merasa sikapnya amat berbeda manakala duduk berdua dengan saya. Dia tidak banyak bicara dengan saya yang sama-sama jarang berbicara. Belum pernah sekalipun dia mencari ulah dengan saya, karena saya pun tidak berniat menyediakan lahan untuknya berbuat ulah. Sangat berbeda dengan tindakannya kepada teman-teman lain sesama tukang cari masalah. Entahlah, sampai sekarang pun saya heran terhadap perbedaan sikapnya yang begitu jinak di hadapan saya.

Setelah benak saya menjelajah ke peristiwa di masa lalu, kali ini saya teringat teman-teman yang lain yang juga pernah mengisi masa lalu yang belum lama berlalu. Saya ditakdirkan satu grup dengan seorang rekan kerja yang slengean. Usianya sekisar 40 tahun, namun sifatnya tak ubahnya ABG yang setiap hari jatuh cinta, sebab dia dengan nada mesra menelepon perempuan-perempuan muda yang berbeda saban hari, dan saya sempat dikirimi pesan singkat oleh istrinya, menanyakan keberadaan sang suami tiga hari belakangan yang tak pulang-pulang ke rumah. Saat grup kami kebagian shift malam, pada saat mesin sedang lancar, dia sering menceritakan masa lalunya yang penuh kepahitan. Dia mantan seorang berandal pada masa mudanya. Bahkan hubungan dia dengan bapaknya sangat renggang sampai sekarang, tersebab suatu kejadian yang tak bisa saya ceritakan di sini. 

Pembawaannya yang ketus tampak kentara sekali bila bercakap-cakap dengan rekan kerja lain, dengan Supervisor dan Dept. Head sekalipun. Aksen orang seberang yang meledak-ledak, menambah sosoknya yang keras kepala. Apabila bekerja pun dia sulit untuk bekerja dengan rekan lain, di mana rekan lain itu ialah tangan kanan Supervisor yang sukunya sama. Seolah dia bekerja sekehendak sendiri, namun dia siap untuk menanggung risiko andai pekerjaannya gagal. Tetapi anehnya, solusi-solusi atas berbagai troubleshooting mesin yang tercetus dari idenya yang terdengar sepele kerap kali manjur, yang menimbulkan decak kagum dari atasannya dan desah iri dari sesama teknisi. 

Bagaimana dengan sikapnya kepada saya? Dia menjelma sosok bapak yang sering memberi saya petuah bersumber dari pengalamannya sejak masa mudanya sampai hari itu. Nampak, dia tak ingin saya seperti dirinya. Dia ingin hidup saya lebih baik darinya, dengan cara menceritakan guratan-guratan hidupnya yang kelam dan nampak berantakan. Ah, seperti seorang bapak saja ternyata orang yang dianggap bengal oleh orang awam yang baru mengenalnya sekelebat.

Saya resapi lagi kedua sosok itu, lalu saya bandingkan dengan beberapa teman yang sekarang sudah sukses di bidangnya. Ya, bisa saja dari segi penghasilan, kedua teman yang saya ceritakan di atas bak bumi dengan langit bila disandingkan dengan teman lain yang sudah hidup mapan sebagai pegawai negeri, perwira lulusan AKMIL Magelang, polisi, pegawai pajak, hingga pengusaha MLM. Namun, setelah saya ingat-ingat, teman-teman saya yang sudah mapan itu belum pernah bersinggungan dengan hidup saya, tak pernah berkonflik dengan mereka, sampai-sampai tak sepercik pun kebaikan yang pernah mereka curahkan kepada saya. Atau bahkan kini, mereka ialah tukang menipu orang-orang lugu agar terjerumus ke dalam bisnis MLM, atau menjelma jadi calo berseragam di pelayanan SIM Polres, atau menyelundupkan persenan dari pajak? Wallahuallam.

Setelah becermin pada masa lalu dan merenungi masa kini, akhirnya sedikit saya temukan jawaban pertanyaan saya di awal postingan ini. Orang baik tidak sedang bersembunyi. Orang baik nyata-nyata duduk bersama saya, bekerja bersama saya, membantu membuangkan sampah dapur kakak saya dengan truk kuning beraroma busuk ke TPA. Namun saya percaya, orang jahat sedang menari-nari di atas penderitaan saya, menyesali kebahagiaan saya. Bukan tidak mungkin orang baik dan orang jahat itu berbaur dalam satu jasad yang sama, yang setiap hari kita kenal dengan petugas kelurahan, rekan kerja, tetangga, atau bahkan sahabat. Mungkin.

Semoga istri siri pejabat BPK itu hidup tenang, dan menemukan lagi suami siri baik hati, yang bersedia membelikannya gaun satin, tas ELLE, dan bulu mata anti badai di alam sana.

8 Komentar

  1. inspiratif sekali... kunjungan perdana nih.. salam kenal dari blogger kota angin,.. #ditunggu kunjungan baliknya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih banyak kalau memang begitu. hmm, kota angin itu Majalengka, ataukah Nganjuk, ya? :D
      salam kenal.

      Hapus
  2. mungkin aku agak ngeblank, walhasil kurang begitu bisa menyerap isi postingan ini hahahahaa

    apakah tulisanmu itu isinya tentang: Setiap manusia punya sisi baik dan sisi buruk. Yang kadang orang lebih seneng menyembunyikan sisi buruk dan hanya mengeluarkan sisi baiknya (pencitraan).

    Atau ada orang yg malah sukanya menyembunyikan sifat baiknya dan mengeluarkan sifat buruknya supaya sikap baiknya tidak banyak yg mengetahui (kecuali sama orang2 tertentu)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha, postingan saya kali ini memang absurd, kak, terlalu banyak yang ingin dicurahkan, jadinya malah aneh :p

      hmm, mungkin bisa kedua-duanya tuh. atau singkatnya: yang menurut kita baik, belum tentu baik sepenuhnya. yang sifatnya buruk, boleh jadi sifat aslinya jauh lebih baik dari orang-orang baik :)

      Hapus
  3. tak sedikit cerita di Dunia nyata spt yg kamu uraiakan di atas bro, ternyata kamu banyak punya pengalaman juga y aberteman dengan berbagai macam orang dgn aneka karakter

    BalasHapus
    Balasan
    1. bisa jadi lebih parah, ya, mbak :)
      alhamdulillah. saya suka pengalaman manis maupun getir hehe.

      Hapus
  4. sisi baik & sisi buruk
    susah menjudge orang baik di awal apalagi zaman sekarang (kata orang tua)
    dia baik kl pikiran kita positif thd dia
    pengalaman sih gitu :D

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama