Saya suka perempuan berbola mata bundar, sebab bola mata saya tidak terlalu bundar.
Saya suka perempuan berlesung pipit, sebab dekik pipi saya sukses ditimbun lemak.
Saya suka teman saya pergi, manakala hati tengah digojlok pilu. Dengan begitu saya dapat berfokus mengetik harapan ribuan kata pada halaman putih pengolah kata dalam kamar gelap sampai pagi menjelang. Dan saya pun bisa mendengkur dari pagi hingga malam.
Setelah mata saya benar-benar terbuka dan dua gelas air putih menggenangi kerongkongan, saya suka melanjut mengetik asa.
Saya suka naik kereta, sayang, tidak ada stasiun Ciluar atau stasiun Citeureup.
Saya suka kecupan dan tempias air mata Ibu, saat saya bersimpuh kepadanya pada hari raya.
Saya suka mendapati beberapa pasang mata tertuju pada saya, saat saya memapah tubuh Ibu yang tidak sanggup berjalan sendirian ke dokter.
Saya suka menonton semua film gubahan Quentin Tarantino, sebab mata saya terbeliak menguping total bujet pembuatan film Sci-Fi Steven Spielberg atau Christoper Nolan, namun plot filmnya sama saja dengan film kelas B.
Saya suka menulis perihal suka, padahal saya sedang menunda-nunda mengetik naskah fiksi yang teronggok di dalam folder bersungkup sarang laba-laba dan tempurung luka.
Saya suka fiksi-fiksi remaja, selama fiksi itu ditulis oleh remaja sendiri. Atau setidaknya, ditulis oleh penulis matang yang sempat alami beberapa kali jatuh cinta pada masa remaja, tidak seperti saya.
Saya suka dia, apakah dia suka saya?
Saya suka dia, sayang, hati saya tidak terlalu suka membiarkan saya berterus-terang di hadapannya.
Saya suka dia, tetapi bibir saya tak sanggup ungkap rasa suka kepadanya.
Saya suka mengenang detik-detik bersamanya: menyesap lembap udara malam kota ini, tak sengaja menunjuk menu yang sama di suatu kafe lalu dia memukul-mukul pundak saya, berjalan berdua di toko buku sambil mencuri-curi pandang bola matanya yang bundar dan pipinya yang menonjolkan dekik.
Sayang, kenangan diciptakan hanya untuk dikenang.
Saya suka melihatnya bahagia, padahal saya tidak suka menyaksikannya berpandang-pandangan, bergamitan jemari dengan laki-laki selain saya. Dan laki-laki itu melumat bibir dia beberapa menit dalam pelukan. Saya mengibaskan pandang dari mereka, lalu dengan lutut menggeletar berjalan pulang sambil tersenyum, membiarkan air mata berinaian malam itu.
Sesampai di kamar gelap tengah malam itu, saya suka memandangi silet menggores-gores lengan saya membentuk nama dia.
Saya suka merawat luka, selama luka itu bermuara dari rasa suka yang tak sampai kepadanya.
Saya suka novel yang berakhir menyedihkan, sebab terkadang hidup saya lebih pedih dari itu.
Saya suka dia, cukup.
Saya suka orang lain punya kesukaannya sendiri, tanpa mesti menguntit perihal suka saya, kecuali mereka ikhlas sumbang royalti 10 persen dipotong pajak.
Saya suka perempuan berlesung pipit, sebab dekik pipi saya sukses ditimbun lemak.
Saya suka teman saya pergi, manakala hati tengah digojlok pilu. Dengan begitu saya dapat berfokus mengetik harapan ribuan kata pada halaman putih pengolah kata dalam kamar gelap sampai pagi menjelang. Dan saya pun bisa mendengkur dari pagi hingga malam.
Setelah mata saya benar-benar terbuka dan dua gelas air putih menggenangi kerongkongan, saya suka melanjut mengetik asa.
Saya suka naik kereta, sayang, tidak ada stasiun Ciluar atau stasiun Citeureup.
Saya suka kecupan dan tempias air mata Ibu, saat saya bersimpuh kepadanya pada hari raya.
Saya suka mendapati beberapa pasang mata tertuju pada saya, saat saya memapah tubuh Ibu yang tidak sanggup berjalan sendirian ke dokter.
Saya suka menonton semua film gubahan Quentin Tarantino, sebab mata saya terbeliak menguping total bujet pembuatan film Sci-Fi Steven Spielberg atau Christoper Nolan, namun plot filmnya sama saja dengan film kelas B.
Saya suka menulis perihal suka, padahal saya sedang menunda-nunda mengetik naskah fiksi yang teronggok di dalam folder bersungkup sarang laba-laba dan tempurung luka.
Saya suka fiksi-fiksi remaja, selama fiksi itu ditulis oleh remaja sendiri. Atau setidaknya, ditulis oleh penulis matang yang sempat alami beberapa kali jatuh cinta pada masa remaja, tidak seperti saya.
Saya suka dia, apakah dia suka saya?
Saya suka dia, sayang, hati saya tidak terlalu suka membiarkan saya berterus-terang di hadapannya.
Saya suka dia, tetapi bibir saya tak sanggup ungkap rasa suka kepadanya.
Saya suka mengenang detik-detik bersamanya: menyesap lembap udara malam kota ini, tak sengaja menunjuk menu yang sama di suatu kafe lalu dia memukul-mukul pundak saya, berjalan berdua di toko buku sambil mencuri-curi pandang bola matanya yang bundar dan pipinya yang menonjolkan dekik.
Sayang, kenangan diciptakan hanya untuk dikenang.
Saya suka melihatnya bahagia, padahal saya tidak suka menyaksikannya berpandang-pandangan, bergamitan jemari dengan laki-laki selain saya. Dan laki-laki itu melumat bibir dia beberapa menit dalam pelukan. Saya mengibaskan pandang dari mereka, lalu dengan lutut menggeletar berjalan pulang sambil tersenyum, membiarkan air mata berinaian malam itu.
Sesampai di kamar gelap tengah malam itu, saya suka memandangi silet menggores-gores lengan saya membentuk nama dia.
Saya suka merawat luka, selama luka itu bermuara dari rasa suka yang tak sampai kepadanya.
Saya suka novel yang berakhir menyedihkan, sebab terkadang hidup saya lebih pedih dari itu.
Saya suka dia, cukup.
Saya suka orang lain punya kesukaannya sendiri, tanpa mesti menguntit perihal suka saya, kecuali mereka ikhlas sumbang royalti 10 persen dipotong pajak.
Tags:
fiksi
wah .... kalau sukanya nggak diungkapkan mana si dia bisa tahu bro ?
BalasHapusternyata kamu pandai juga ya merangkai kalimat cantik :)
bgmn, apa jadi tak umumkan di DE ? :D
hehe, ini semi fiksi kok, mbak :D
Hapuslagi belajar ngacak-ngacak kalimat biar efektif :)
Ciiiie,, suka-sukaan,, nenek bilang berbahayaaa eeey... marilah kemari ey kawaan... #lho kok jd nyanyi. :D
BalasHapusSalam kenal, Cepy. ^^
ampuuun, nenek :s
Hapussalam kenal juga, Isni ;)
wah, untungnya nggak banyak orang yang suka sama situ, hehehehe, bisa banyak yg kena royalti 10% tuh
BalasHapushahaha, makanya begini-begini aja :)))
HapusKamu tuh segemuk apa sih? Kok selalu bilang lemak dan lemak haha.. Kalo diriku liat di profil blogmu di bawah postingan, kok kurus yaaa...
BalasHapusjiah, kak ndop bosen ya baca tulisan saya nyinggung-nyinggung lemak melulu :D
Hapusditunggu novelnyaaa
BalasHapushiks, baru 8 bagian aja udah susah payah nulisnya. doakan yaa :O
Hapussemangat qaqa cepyyy (^^)9
Hapushap-hap 6(^.^)9 *angkat barbel*
Hapussaya suka membaca tulisan kamu perihal suka ini... saya jadi terinsipirasi juga untuk menulis tentang apa yang saya suka... :)
BalasHapussaya juga suka kamu berkomentar pada tulisan perihal suka ini, hehe :D
Hapusdan saya suka mengomentari lagi komentar kamu tentang sukanya kamu pada komentar saya. hihihi :D
Hapushahaha, pokoknya suka deh :D
HapusSaya suka perempuan yang rambutnya panjang, dan dikuncir ekor kuda :D
BalasHapusbagus juga gan. asalkan, jangan suka sama kuda beneran ya :)))
Hapus