Saya ingin mengawali tulisan ini dengan sekalimat di bawah header blog penyair Aan Mansyur:
Saya menulis karena sering diserang perasaan ingin berada di sini, di sana, dan di mana-mana sekaligus.
Tiap orang punya kesukaan. Saya tahu, kamu suka sekali meracik strategi game online tak mengenal waktu, tak mendengar keroncongan perut, cuma mengenal perempuan dari kacamata skeptis. Saya tahu betul hasratmu terlampias saat kamu menggesek dawai biola yang menyayat-nyayat kalbu, merobek telinga manusia-manusia sekitarmu. Saya pun mafhum, mereka, orang-orang kaya itu, saban Minggu menunggangi Harley Davidson ugal-ugalan seolah jalan raya milik nenek moyang, lantaran profesi dan jabatan strategis yang disandang lambat-laun menjemukan.
Saya suka menulis, tanpa hendak memampang alasan semacam: Saya menulis sebab ingin menggetarkan dunia berkat piawai menganggit 26 huruf, 10 angka, 11 tanda baca. Dengan begitu, kelak nama saya dikenang penduduk bumi delapan turunan. Atau, Saya ingin menjadi penulis terkenal seperti Andrea Hirata, penulis Indonesia pertama yang bisa menembus penerbit Eropa 100 tahun terakhir. Tidak, saya tidak punya alasan sehiperbolik itu. Sebab saya tidak selebay Andrea Hirata.
Namun, bila kamu meminta, baiklah, akan saya babarkan sepercik alasan perihal suka saya.
Saya bisa menulis, manakala saya sedang melakukan satu kegiatan saja: menulis. Hanya suara jarum-jarum hujan menusuk genting-genting yang boleh saya toleransi. Musik-musik klasik maupun New Age sontak terdengar bising saat saya menulis. Ingin saya sumpal mulut anak kecil yang menangis ketika tengah malam itu saya sedang menyusun plot.
Entah, barangkali saya dianugerahi kemampuan multitasking yang buruk, sampai-sampai, saya hanya mampu mencintai satu hal saja: keheningan.
Menulis ialah rutinitas―atau katakanlah ritual―dalam hening, bagi saya. Mulut berpuasa omong. Telinga disungkup sementara dari pengang elegi dunia. Hidung, cukuplah menghidu aroma didih kopi pemantik ide. Kecuali Tuhan, hanya saya yang tahu fluida gagasan yang sedang saya kucurkan dari otak ke jemari di atas tuts keyboard. Seperti ibadah puasa, menulis sebagai aktualisasi kejujuran untuk diri sendiri. Bukan untuk sesiapa.
Tetapi, percayalah, hening di permukaan teramat kontras dengan riuh-rendah benak. Semenjak tubuh saya masih menguar aroma ludah kering, benak terus-menerus menghela kegelisahan yang menderas tak tahu tata krama, ruapan resah, gurat-gurat luka. Sesudah mandi? Oh, ketahuilah teman, ritual mandi sekadar meluruhkan daki, tidak melesapkan duka.
Maka, demi meredakan tsunami benak tak bersudah itu, saya putuskan menulis beberapa ratus kata setelah sebelumnya membaca tak hingga rasa dalam keheningan. Ya, sepertinya saya jatuh cinta pada hening.
Menulis, bagi Pramoedya Ananta Toer, ialah pemberontakan. Adapun bagi pandir seperti saya, pelarian. Pelarian dari hedonisme urban yang tak kuasa saya tunaikan. Pelarian dari comelnya mulut lebar dosen flamboyan yang memaksa mahasiswa untuk melontarkan pertanyaan dan pernyataan, padahal saya benci untuk berbual tanpa saya pikir lebih dulu beberapa jenak. Pelarian dari kenyataan bahwa: derita lebih sering bertamu daripada bahagia yang pemalas.
Atau bahkan, pelarian dari ritual menulis sendiri yang kerap menguras ingatan dan kenangan dan air mata.
Selamat Hari Blogger Nasional. Saya akan terus menulis dalam keheningan selama saya masih memercayai cinta.
Keren tulisannya kayak monolog perbincangan dengan diri sendiri. Blogger tugasnya ya nulis, tanpa menulis blogger mungkin hanya bisa disebut sebagai pemilik blog saja. :p
BalasHapusterima kasih, mas gie. postingan ini memang semacam refleksi, yang lumayan lebay :D
Hapuswah susah juga ya kebayang pas nulis suara musik Klassik jd spt suara bising :)
BalasHapusaku mah msh nulis abal abalan, yg penting bikin hati happy Cepy :)
hehehe, nggak separah itu sih :D
Hapusmaksud saya, kalo saya lagi ngetik, saya harus fokus. nggak bisa ngetik di tengah riuh-rendah suara temen-temen. harus sendirian tanpa ada orang yang mengenal :)
Kalau pas ngetik-ngetik, saya biasanya ditemani lagu-lagu klasik. Tapi kadang kalau pas lagi pengen hening, saya nggak menyetel lagu satu pun. Kebetulan kos saya juga tenang, jadi sangat nyaman dipakai buat nulis :D
BalasHapustips yang inspiratif, dit. boleh saya tahu judul lagu klasik yang kamu suka? :D
Hapusserius, jatuh cinta sama tulisan ini.... merasa terwakili...
BalasHapusdan saya juga kalo nulis mesti fokus, dalam hal lain saya bisa multitasking tapi kalo untuk nulis mesti tok cuma nulis..
ah, ternyata kita sama ya :3
Hapusiya, saya aneh liat temen lama saya yang biasa membaca novel dengan telinga mendengarkan musik dari earphone yang terhubung mp3. Otaknya canggih.
aku lebih nyaman nulis di blog daripada apdet status di facebook sepanjang nulis di blog. Facebook yg baca orangnya macem2. Kalau blogku yg baca orangnya open minded. Jadi lebih enak ngeblog.
BalasHapusSelamat telat ngucapin hari blogger nasional buat saya!
sepakat! bahkan, motif utama (kayak kejahatan aja ya) pembuatan blog sederhana ini ialah, kegelisahan saya terhadap komentar-komentar miring di facebook dua-tiga tahun silam terhadap status update saya yang sering kali galau wahahaha.
Hapusdari situ mulai terpikir, sepertinya saya butuh ruang maya tersendiri, tanpa orang-orang yang saya kenal yang dipaksa untuk membaca keluhan-keluhan saya, biarkan yang membaca blog cepy break ini adalah orang-orang yang tidak pernah mengenal bahkan bertemu dengan saya yang diarahkan oleh mbak google :))