Dan tiga bocah di hadapanku.
***
Aku menyukai bocah. Makhluk lincah, lucu, menggemaskan. Namun kesukaanku sontak berubah benci tatkala Jumat tiba. Tiap Jumat siang, mereka bak anjing yang terlepas dari cengkeraman rantai tuannya, bersua dengan kolega-koleganya untuk menggoda, merisak, mengepung kucing-kucing kampung, lantas terpecahlah kembali peperangan klasik dua makhluk yang gengsinya tetap terpelihara semenjak zaman kerajaan hingga zaman edan kini. Heran. Orangtua tak juga acuh terhadap ulah anak-anak mereka. Kudengar selentingan kabar dari tetangga sebelah, berulangkali Ketua DKM menasihati orangtua para bocah, menandangi rumah mereka satu per satu. “Saya sibuk, Pak Ridwan. Tak sempat! Boro-boro ngurus anak. Sepulang bekerja, lalu memijakkan kaki di beranda rumah, putra saya telah tertidur pulas di kamarnya. Esok pagi, kala dia bangun dan bersiap-siap bersekolah, saya sudah berada di dalam komuterline,” begitu jawaban usang yang acap kali terlontar dari mulut mereka, kala Pak Ridwan―ketua DKM yang didaulat paksa oleh warga, lantaran hampir semua warga enggan mengemban amanah jemaah Masjid Kompleks Anyelir―menyambangi kediaman orangtua para bocah agar rela mendidik dengan telaten dan menghardik dengan tega, bila Si Bocah teguh membandel.
Tiga bocah di hadapanku mulai bertingkah. Saling bersombong-sombong kebisaan masing-masing, silih berbantahan kebisaan kawannya. Bapak di sebelah kiri mereka menoleh kepada ketiganya. Lantas tersenyum simpul, menepuk-nepuk pundak tiga bocah di hadapanku.
Sejahil, selicik, sebengis koruptor pun, tingkah-langkah tiga bocah di hadapanku terkesan lucu bagi orang lain. Lucu bagi Bapak sebelah kiri tiga bocah di hadapanku.
Tetapi lucu bagi bogemku.
***
Azan zuhur berkumandang Jumat siang ini. Bilal mengumandangkan azan dengan khusyuk. Sesekali jemaah-jemaah Masjid membalas lafal kumandang azan. Aku pun. Terkecuali tiga bocah di hadapanku.
Bocah mana peduli terhadap merdunya kumandang azan.
***
Aku terperangah. Tiga bocah di hadapanku mulai berulah. Bocah pertama: Bersila dengan manis seraya sesekali terpingkal-pingkal menyaksikan ulah dua bocah di sebelahnya. Bocah ke dua dan ke tiga: silih ganti mengolok-olok, saling mencubit satu sama lain, dan berujung baku-hantam. Ocehan ketiganya sukses membangkitkan urat syarafku. Tiga bocah di hadapanku kontan mengurai siklus berkesinambungan. Siklus penggerecok kekhusyukan salat Jumat di Masjid Kompleks Anyelir. “Kamu di situ, Kakak di sini!”
“Ogaah! Aku penginnya duduk barengan!”
“Aku juga!”
“Kalian berdua! Sempit, tahu! Mundur, mundur!” umpat bocah yang mendaulat dirinya “Kakak” itu.
Dua bocah yang kuduga sebaya, berusia sekisar dua-tiga tahun lebih muda ketimbang usia bocah pertama, menggeleng mantap. Bersamaan, seraya meleletkan lidah, menyeringai. Si Kakak mendengus. Ia beringsut kembali ke tempatnya bersila semula.
Kedua bocah lain menguntitnya lagi. Bersila berdesakan bertiga. Sontak Si Kakak berteriak lantang, “Kubilang, kalian berdua di situ saja!” umpatnya.
Lagi-lagi disahut oleh kedua bocah dengan gelengan kepala dan leletan lidah. Raut muka Si Kakak tampak kesal. Ia beringsut kembali ke depan. Lagi. Dua bocah mengikuti tingkah-laku si Kakak. Tiga bocah di hadapanku berulangkali mengingsutkan pantat dari depan ke belakang, dari belakang ke depan. Begitu seterusnya, bak pemimpin yang plintat-plintut dalam mengambil keputusan menyangkut rakyatnya.
Bapak yang berada di sebelah kiri tiga bocah di hadapanku, terjaga dari kantuknya. Ia tak lagi mengulum senyum simpul. Tampak, ia terganggu oleh ulah ketiganya. Bola matanya mendelik sinis terhadap mereka. Dahinya berkerut-kerut. Namun ia tak berani bersuara, hanya kuasa menatap tajam ketiga bocah sembari menempelkan telunjuk kanan di ujung bibirnya.
Ditatap tajam bapak sebelah, tiga bocah di hadapanku bergeming. Sepuluh detik. Detik ke 11, mereka kembali pada kodratnya. Memeriahkan kegaduhan di tengah kekudusan hari Jumat.
Nafsuku meletup-letup. Ingin kucaci, kuumpat―lalu kupatahkan batang leher―tiga bocah di hadapanku. Apa daya, dahulu Rasul tak sempat memberikan sunah untuk mencecar atau menghardik atau menempeleng bocah bandel kala khotbah Jumat. Padahal, beliau melarang umatnya bercakap-cakap saat khotbah Jumat.
Sunah yang timpang.
Di sela dosa-dosa yang telah kulakukan selama 20 tahun aku mensesaki bumi, kali ini aku berjuang menahan nafsu yang bila tak kubendung akan menabur dosaku semakin menggunung. Aku enggan menyia-nyiakan pahala menggiurkan setiap Jumat siang yang katanya sebanding tiga ekor unta itu. Aku kukuh pada sunah Rasul. Mematung. Menundukkan muka. Menyangga dagu. Pura-pura tak acuh terhadap ocehan, jeritan, umpatan tiga bocah di hadapanku yang seolah beradu nyaring dengan suara Khatib yang tengah berapi-api lewat pelantang, menyampaikan perihal pentingnya mendidik buah hati secara islami di tengah era globalisasi.
Jangan sampai tiga bocah di hadapanku menumpuk dosaku semakin menggunung siang ini!
***
Khatib mengakhiri khotbah pertama. Sejurus kemudian, ia kembali berdiri, menuntaskan khotbahnya. Masih berkisar pada topik yang sama: Mendidik buah hati secara islami di tengah era globalisasi. “Buk!”
Sekonyong-konyong terdengar pekikan melengking. Rupanya bermuasal dari mulut bocah ke dua. Lantas ia membalas pukulan kawan yang seketika jadi lawan itu. Kawannya meringis, namun tak menangis. Ia membalas, lebih keras. Seketika kudengar bunyi tulang iga yang beradu dengan sekepal tangan mungil. Bocah ke dua merintih. Kini diikuti ledakan tangisnya. Sejurus kemudian, ia menghampiri kakaknya. Meminta pembelaan.
“Kenapa kamu memukul adikku, heh?” bentak Si Kakak seraya merangkul, menjauhkan, melindungi adiknya dari telatah bocah ke tiga.
“Adikmu banyak omong! Aku dikatainya bodoh!”
“Bohong! Kamu yang mengataiku bego!” pekik bocah ke dua sambil terisak.
“Kamu memukulku pertama kali!”
“Kamu memukulku keras sekali!”
“Kalian sama saja!” sungut Si Kakak sambil tetap merangkul adiknya lekat-lekat.
Aku celingukan. Apakah orang sekelilingku sama sepertiku, terganggu oleh ulah biadab ketiga bocah ingusan ini? Sepintas kusaksikan, beberapa orang tengah tertidur menyangga dagu. Kepalanya menganggut-anggut, kopiah beledu hitam yang mereka kenakan tampak menceng, saking pulasnya mereka terlelap di tengah khotbah Jumat.
Tingkah sebagian lainnya serupa denganku. Menatap jengkel terhadap sosok tiga bocah di hadapanku, namun tak kuasa bersuara. Berbisik-bisik pun tidak, demi meneladani sunah Rasul.
Kusaksikan Khatib menatap tiga bocah di hadapanku. Kupikir ia akan memaki, lantas mengusir tiga bocah itu. Tidak. Lisannya tetap mensyiarkan betapa pentingnya mendidik buah hati sesuai ajaran islam di tengah era globalisasi kepada para jemaah Masjid Kompleks Anyelir.
Apa faedahnya isi khotbah idealmu yang begitu kontras dengan realitas di hadapanku, di depan pelupuk matamu, Ustaz!
***
Khotbah Jumat usai. Ikamah berkumandang. Para jemaah serempak bangkit dari duduk silanya. Beberapa lelaki setengah baya yang sedari khotbah tadi terkantuk-kantuk―mendengkur―terkesiap. Sontak mereka turut berdiri, menyeka kedua matanya dengan punggung tangan masing-masing. Si Kakak melonggarkan rangkulannya terhadap bocah ke dua. Rupanya isak tangis Si Adik surut. Bahkan, mulai akur lagi dengan bocah ke tiga, kembali saling merisak.
Menyaksikan lelaki-lelaki dewasa sekelilingnya berdiri, ketiganya turut bangkit. Di depan mereka, masih ada lapak kosong-melompong. Namun tampaknya mereka tak ingin bercerai. Tiga bocah di hadapanku berdiri berjejer berimpitan. Bapak di sebelah kanan, lelaki setengah umur di sebelah kiri ketiganya masih tak kuasa bersuara untuk menasihati tiga bocah di hadapanku.
Meratapi pemandangan menjengkelkan di hadapanku setengah jam terakhir, gejolak batinku semakin menggelegak, meluap hingga ubun-ubun. Tetapi, sepertinya nafsuku masih dapat termentahkan oleh kukuhnya niatku mengikuti sunah Rasul, untuk tak melontarkan sepenggal kalimat pun hingga salat Jumat usai.
Khatib yang kali ini merangkap sebagai Imam melafalkan takbir. Salat Jumat dimulai.
***
Barangkali, aku tergolong hamba yang amalan salatnya selalu ditampik oleh Allah. Kala salat, anganku senantiasa melayah ke mana-mana. Seolah sepasang bola mataku fokus terhadap Allah, padahal entah! Cuping hidung yang masih mampu menghidu aroma ikan mas yang tengah digoreng tetangga, sepasang telingaku yang masih berfungsi dengan baik dalam mengirimkan sinyal ke otak, lalu otak dengan sigap menyampaikan sinyal itu ke mulutku, sehingga tawaku tergelak tatkala mendengar godaan atau gurauan temanku. Begitu pun sekarang.
Bak film, tiga bocah―yang masih berada setengah meter di hadapanku―begitu jelas mempertunjukkan detik demi detik tindak-tanduk biadabnya di pelupuk mataku. Bocah ke dua merentangkan kedua kaki hingga mempersempit lapak salat ketiganya. Bocah ke tiga tak ingin mengalah, menginjak kaki bocah ke dua sepenuh daya. Bocah ke dua menjerit, lalu membalas injakan rivalnya itu.
Si Kakak bergeming. Walaupun saat khotbah dia turut memeriahkan kegaduhan bersama dua juniornya, tampaknya ia paham ihwal kesakralan ibadah salat.
Di sela sepasang telinga yang tengah menyimak serta mulutku yang tengah komat-kamit mengikuti bacaan Imam, tebersit niat busuk di pikiranku. Ya, kesabaranku surut, namun berusaha kutahan emosiku hingga salat usai. Seusai salat, aku akan memberi sedikit pelajaran kepada tiga bocah di hadapanku.
Dan sedikit bogem kasih sayang.
***
Rakaat ke dua. Kuduga, salat Jumat yang kutunaikan kali ini sia-sia berlumur dosa. Bila tak malu, ingin rasanya aku mengakhiri salat, meninggalkan Masjid Kompleks Anyelir, lantas melabrak, memaki orangtua tiga bocah di hadapanku. Telatah tiga bocah di hadapanku semakin nista. Bocah ke dua kembali merentangkan kaki melampaui bahunya. Bocah ke tiga pasrah. Sejenak, ia tak melawan. Beberapa jenak, bocah ke tiga menyenggol sepenuh daya bahu bocah ke dua, hingga bocah ke dua dan Si Kakak tersungkur. Jeritan bocah ke dua melengking. Ia bangkit dari jatuhnya, balas menyenggol bocah ke tiga. Aku memuji kedewasaan Si Kakak kala salat: ia bangkit, melanjutkan salat, fokus mengikuti gerakan Imam. Tak acuh dengan kelakuan adik dan kawannya.
Kuduga, bocah ke dua ialah bocah terculas dari segala bocah yang pernah kutemui. Dia acap kali memulai perselisihan, tetapi tak terima bila dibalas.
Ya, bocah ke dua, kurasa, calon seorang birokrat negeri yang mumpuni, kelak.
***
Imam mengucapkan salam. Aku turut menengokkan salam ke kanan, ke kiri. Salat Jumat usai. Puluhan penggalan kalimat cacianku telah bersesakan di ujung mulut: seluruhnya tak sabar untuk kumuntahkan kepada tiga bocah di hadapanku. Seperti bison yang kelaparan di tengah gersangnya padang ilalang, kemudian menemukan seekor rusa, napasku memburu. Tak sabar menelanjangi mangsa tengil di hadapanku. Beberapa sentimeter, telunjukku hampir meraih daun telinga Si Kakak, ketika bocah tertua itu menyambar, meraih, mencium tanganku dengan takzim. Mencium tanganku, layaknya penghargaan seorang anak saleh terhadap orangtuanya. Dua bocah lain mengikuti tingkah seniornya. Mencium tanganku, mencium tangan bapak di sebelah kiri, mencium tangan lelaki setengah baya di sebelah kanan, mencium tangan bapak tua di depan mereka. Mencium tangan seluruh jemaah salat Jumat di Masjid Kompleks Anyelir.
Ciluar, 29 Maret 2013
Cepy HR
Tags:
fiksi
hahahahaha endingnyaaaa... tanpa diduga tanpa dinyana. Ternyata bocah tadi memang "dikirim" oleh Tuhan untuk menguji kekhusukan jamaah..
BalasHapusCerpennya bagus mas. Tapi menurut saya (eh boleh kritik khan ya?) banyak kalimat mubadzir yg bikin lelah membacanya. Dipersimpel saja kalimatnya. Supaya lebih padet dan berisi.
Makasih berat buat masukannya, mas ndop. Biasanya nggak ada orang yang mau baca, apa lagi yang komentar haha :D
Hapus