Anak kecil pun tahu, bila lebih dari satu mobil berjalan beriringan di jalanan, sudah pasti bakal menyebabkan kemacetan. Tapi hemat saya, hal itu tidak sepenuhnya benar, tidak sepenuhnya keliru. Saya, sebagai pengendara motor sadar sejujur-jujurnya, justru motorlah yang jadi biang kerok kemacetan di daerah yang pernah saya tinggali: Bandung dan Bogor.
Pengendara motor itu egois. Tatkala macet mengadang, sekenanya saja mereka menerabas jalur sebaliknya. Sering kejadian spion mobil terlibas, si bikers melenggang adem ayem tanpa dosa. Ketika situasi jalanan aman lancar pun malah jadi dilema. Saya pernah kesulitan menyeberangi jalan pada musim mudik lebaran silam, karena begitu membeludaknya pemudik roda dua. Kala itu kerap kali saya menyumpah-nyumpahi pemudik roda dua saat mereka berkelebat selisih dua senti saja dari paha saya. Balapin sono Jupiter MX-nya di ajang Superbike! Gepeng-gepeng, dah digilas Ducati 1000cc.
Nah, bagaimana attitude pengendara mobil? Saya baru dapat menyaksikan pertarungan ego antar pengendara mobil di jalan tol Jagorawi hingga Cipularang, yang bersalip-salipan, menggadaikan nyawa sejak kilometer 0 sampai Pasir Koja atau Pasteur. Sedan 90an tak ingin kalah dengan mobil keluarga tahun muda―yang sering dirisak dengan istilah kaleng kerupuk itu. Namun, sekeluarnya mereka dari gerbang tol, saya mengacungi jempol kelegowoan pengendara mobil yang masih―atau lantaran dipaksa keadaan―mempersilakan motor-motor matik, bebek, motor laki, dan motor penghasut perempuan (baca: Kawasaki Ninja) mengimpitnya di kanan-kiri-depan-belakang.
Mobil Murah Cuma Kepentingan Politis?
Opini berikut bermuasal dari kacamata saya yang notabene “bukan pemilik mobil” dan “bukan yang pernah memiliki mobil”. Pendapat yang sangat awam, dan terkesan amat subjektif. Cuma bersumber dari surat kabar, internet, dan sedikit kenangan dari obrolan saya dengan sopir taksi bandara beberapa bulan silam.
Dua bulan belakangan Indonesia diramaikan oleh kedatangan mobil-mobil murah, yang dinamai pemerintah dengan proyek Low Cost Green Car (LCGC). Syarat-syaratnya, konsumsi BBM harus bisa mencapai 20 km/liter atau lebih. Dan harganya pun harus ditekan semurah-murahnya. Nah, inilah yang jadi soal. Bukankah, biasanya harga murah adalah simbol dari buruknya kualitas yang didapat?
Pabrikan Jepang yang sudah resmi bersepakat dengan pemerintah yakni Toyota; Agya, Daihatsu; Ayla, dan baru-baru ini Honda pun tak mau kalah dengan melansir Brio Satya. Mengenai harga, setelah saya googling, berkisar pada rentang 75-120 juta. Sedang spesifikasinya tak terpaut jauh satu sama lain. Ada harga, ada rupa. Taklah adil bila disandingkan dengan mobil-mobil non-LCGC, di mana satu-satunya keunggulan mobil LCGC ini sebatas ramah lingkungan, yang bermuasal dari efisiensi bahan bakar yang diteguk.
Tunggu sebentar, irit bahan bakar? Seberapa irit? Mereka mengklaim bisa menjangkau 20 km/liter, bahkan lebih. Dengan catatan, katanya ini yang patut dicamkan, pemilik mobil LCGC selalu menggunakan bahan bakar dengan kandungan oktan 92. Ya, Pertamax. Cuma BBM non subsidi yang boleh ditenggak oleh mobil LCGC yang disubsidi. Jika kesepakatan ini dilanggar, misal dengan tetap mengisi Premium, maka gugurlah garansi mobil murah. Kedengarannya aneh.
Ya, ini proyek mobil murah. Dalam tanda kutip, murah menurut siapa? Rakyat jelata seperti saya sepertinya bakal berpikir ulang untuk beli mobil semurah apa pun. Orang seperti saya akan berpikir ulang untuk menganggarkan dana cukup luang setiap hari setiap bulan karena mobil LCGC harus menggunakan Pertamax. Atau, barangkali kalau saya terpaksa beli mobil, saya akan memilih mobil Jepang bekas yang melimpah onderdil KW-nya dan masih bisa minum Premium, karena saya masih singel, belum bekerja, sehingga kocek takkan terkuras dalam-dalam kala merawat roda empat. Itu kalau terpaksa.
Tetapi, bila terpaksa saya bijak, saya pikir biarkanlah mobil murah berkembang. Sekontroversial apa pun keputusan, pasti ada sisi baiknya kendati sedikit. Mungkin di masa mendatang pengendara motor bakal memarkir roda duanya, dan beralih ke mobil murah ramah lingkungan. Saya harap di situ dia belajar dari nol tentang hakikat antre, belajar sabar menghadapi kemacetan. Sehingga motor yang menyalip sudah berkurang lantaran hijrahnya sebagian dari mereka ke roda empat murah. Setelah mobil murah semakin berkembang dan volumenya tidak bisa dibendung, di masa mendatang pemerintah insaf sambil meratapi jalanan yang penuh mobil pribadi, kemudian terpaksa memungut lagi serpihan-serpihan proyek transportasi massal masa lalu yang tak bersudah.
Ah, seperti makan keju dalam mimpi apabila detik ini saya menggembar-gemborkan betapa penting serta mustajabnya restrukturisasi transportasi massal di Jakarta dan kota-kota penyangga dalam mengatasi kemacetan, yang sebatas wacana penuh keraguan dan intrik. Kalau memang Jakarta sudah kadung benci terhadap momok bertopeng kemacetan, lekas serahkan saja tahta ibukota kepada Palangkaraya, yang tampaknya sudah bergeliat mematut-matut diri. Barangkali kelak anak-anak kita akan bertamasya ke Dunia Fantasi, Planetarium, Monumen Nasional Palangkaraya-Kalimantan Selatan. Atau Pekan Raya Palangkaraya. Mungkin di masa mendatang barisan mahasiswa dan buruh harus mengkalkulasi uang transport masak-masak, tatkala mereka hendak demonstrasi ke gedung DPR/MPR yang juga telah hijrah ke Palangkaraya.
Ya, menjelang pengujung 2013, di ambang tahun pemilu, tampaknya saya mesti menikmati dahulu solusi ecek-ecek terkait kemacetan: menyaksikan pengendara motor yang ugal-ugalan, ramai-ramai menggandrungi mobil murah. Makan singkong betulan dahulu. Dan berdoalah supaya lekas benar-benar melahap sebongkah keju, kelak.
Pengendara motor itu egois. Tatkala macet mengadang, sekenanya saja mereka menerabas jalur sebaliknya. Sering kejadian spion mobil terlibas, si bikers melenggang adem ayem tanpa dosa. Ketika situasi jalanan aman lancar pun malah jadi dilema. Saya pernah kesulitan menyeberangi jalan pada musim mudik lebaran silam, karena begitu membeludaknya pemudik roda dua. Kala itu kerap kali saya menyumpah-nyumpahi pemudik roda dua saat mereka berkelebat selisih dua senti saja dari paha saya. Balapin sono Jupiter MX-nya di ajang Superbike! Gepeng-gepeng, dah digilas Ducati 1000cc.
Untung saya bukan pemilik motor di atas 150-250cc yang kerap arogan. Saya cuma dikasih orangtua bebek 100cc. Mencapai 70-80 km/jam pun sudah bersyukur.Mobil? Terkecuali sopir angkot, mikrolet atau bus tiga perempat (semacam metro mini), sekoboy-koboynya pengendara mobil pribadi, mungkin bakal berpikir ulang seandainya bodi mobilnya tergores atau bempernya penyok. Terlebih sekarang banyak pengendara mobil pemula, yang belum berani ngebut. Masih malu-malu. Mereka terpaksa mengantre macet, membiarkan celah antara mobilnya dengan mobil lain dilalui zig-zag oleh si bikers yang meraja. Itu pengalaman saya meneropong jalanan Kota/Kab. Bogor dan Kota/Kab. Bandung. Saya kurang paham keadaan lalu lintas Jakarta.
Nah, bagaimana attitude pengendara mobil? Saya baru dapat menyaksikan pertarungan ego antar pengendara mobil di jalan tol Jagorawi hingga Cipularang, yang bersalip-salipan, menggadaikan nyawa sejak kilometer 0 sampai Pasir Koja atau Pasteur. Sedan 90an tak ingin kalah dengan mobil keluarga tahun muda―yang sering dirisak dengan istilah kaleng kerupuk itu. Namun, sekeluarnya mereka dari gerbang tol, saya mengacungi jempol kelegowoan pengendara mobil yang masih―atau lantaran dipaksa keadaan―mempersilakan motor-motor matik, bebek, motor laki, dan motor penghasut perempuan (baca: Kawasaki Ninja) mengimpitnya di kanan-kiri-depan-belakang.
Mobil Murah Cuma Kepentingan Politis?
Opini berikut bermuasal dari kacamata saya yang notabene “bukan pemilik mobil” dan “bukan yang pernah memiliki mobil”. Pendapat yang sangat awam, dan terkesan amat subjektif. Cuma bersumber dari surat kabar, internet, dan sedikit kenangan dari obrolan saya dengan sopir taksi bandara beberapa bulan silam.
Dua bulan belakangan Indonesia diramaikan oleh kedatangan mobil-mobil murah, yang dinamai pemerintah dengan proyek Low Cost Green Car (LCGC). Syarat-syaratnya, konsumsi BBM harus bisa mencapai 20 km/liter atau lebih. Dan harganya pun harus ditekan semurah-murahnya. Nah, inilah yang jadi soal. Bukankah, biasanya harga murah adalah simbol dari buruknya kualitas yang didapat?
Pabrikan Jepang yang sudah resmi bersepakat dengan pemerintah yakni Toyota; Agya, Daihatsu; Ayla, dan baru-baru ini Honda pun tak mau kalah dengan melansir Brio Satya. Mengenai harga, setelah saya googling, berkisar pada rentang 75-120 juta. Sedang spesifikasinya tak terpaut jauh satu sama lain. Ada harga, ada rupa. Taklah adil bila disandingkan dengan mobil-mobil non-LCGC, di mana satu-satunya keunggulan mobil LCGC ini sebatas ramah lingkungan, yang bermuasal dari efisiensi bahan bakar yang diteguk.
Tunggu sebentar, irit bahan bakar? Seberapa irit? Mereka mengklaim bisa menjangkau 20 km/liter, bahkan lebih. Dengan catatan, katanya ini yang patut dicamkan, pemilik mobil LCGC selalu menggunakan bahan bakar dengan kandungan oktan 92. Ya, Pertamax. Cuma BBM non subsidi yang boleh ditenggak oleh mobil LCGC yang disubsidi. Jika kesepakatan ini dilanggar, misal dengan tetap mengisi Premium, maka gugurlah garansi mobil murah. Kedengarannya aneh.
Ya, ini proyek mobil murah. Dalam tanda kutip, murah menurut siapa? Rakyat jelata seperti saya sepertinya bakal berpikir ulang untuk beli mobil semurah apa pun. Orang seperti saya akan berpikir ulang untuk menganggarkan dana cukup luang setiap hari setiap bulan karena mobil LCGC harus menggunakan Pertamax. Atau, barangkali kalau saya terpaksa beli mobil, saya akan memilih mobil Jepang bekas yang melimpah onderdil KW-nya dan masih bisa minum Premium, karena saya masih singel, belum bekerja, sehingga kocek takkan terkuras dalam-dalam kala merawat roda empat. Itu kalau terpaksa.
Tetapi, bila terpaksa saya bijak, saya pikir biarkanlah mobil murah berkembang. Sekontroversial apa pun keputusan, pasti ada sisi baiknya kendati sedikit. Mungkin di masa mendatang pengendara motor bakal memarkir roda duanya, dan beralih ke mobil murah ramah lingkungan. Saya harap di situ dia belajar dari nol tentang hakikat antre, belajar sabar menghadapi kemacetan. Sehingga motor yang menyalip sudah berkurang lantaran hijrahnya sebagian dari mereka ke roda empat murah. Setelah mobil murah semakin berkembang dan volumenya tidak bisa dibendung, di masa mendatang pemerintah insaf sambil meratapi jalanan yang penuh mobil pribadi, kemudian terpaksa memungut lagi serpihan-serpihan proyek transportasi massal masa lalu yang tak bersudah.
Ah, seperti makan keju dalam mimpi apabila detik ini saya menggembar-gemborkan betapa penting serta mustajabnya restrukturisasi transportasi massal di Jakarta dan kota-kota penyangga dalam mengatasi kemacetan, yang sebatas wacana penuh keraguan dan intrik. Kalau memang Jakarta sudah kadung benci terhadap momok bertopeng kemacetan, lekas serahkan saja tahta ibukota kepada Palangkaraya, yang tampaknya sudah bergeliat mematut-matut diri. Barangkali kelak anak-anak kita akan bertamasya ke Dunia Fantasi, Planetarium, Monumen Nasional Palangkaraya-Kalimantan Selatan. Atau Pekan Raya Palangkaraya. Mungkin di masa mendatang barisan mahasiswa dan buruh harus mengkalkulasi uang transport masak-masak, tatkala mereka hendak demonstrasi ke gedung DPR/MPR yang juga telah hijrah ke Palangkaraya.
Ya, menjelang pengujung 2013, di ambang tahun pemilu, tampaknya saya mesti menikmati dahulu solusi ecek-ecek terkait kemacetan: menyaksikan pengendara motor yang ugal-ugalan, ramai-ramai menggandrungi mobil murah. Makan singkong betulan dahulu. Dan berdoalah supaya lekas benar-benar melahap sebongkah keju, kelak.
Tags:
lifepedia
kl di JKT itu mobilnya banyak, tapi di dalamnya hanya satu orang *menjamurlah joki 3 in 1*
BalasHapuscibubur aja yg deket gunung putri sini, macet sepanjang hari karena komplek elit yg semakin menjamur di cibubur > orang kaya baru punya rumah di cibubur > mobilnya satu anggota keluarga satu > macet
hahaha
kl bogor sama bandung, kota terkenal angkot, jadi I love angkot
nggak betah lama2 kerja & kuliah di JKT :">
hmmm, gitu ya ven. pantesan orang jakarta pada senewen :(
Hapusiya, tapi angkot juga kadang ngeselin. apalagi di bandung -..-
jakarta, benci tapi butuh ya? :D
benci tapi butuh itu ky benci bilang rindu gitu kali ya cep? hahahaha
Hapushmmm :(
Hapusruwet juga mikirnya ya Cepy, aku tak bisa membayangkan bagaimana karena memang belum paham sepenuhnya dalam hal ini, terakhir liburna ke sana tiap hari aku dan suami ke mana mana pakai sepeda, sungguh berat tiap Saat dikepung bgt byk pengendara Motor di kampungku sana, msh untung sih bisa nyepeda, kalau di kota kota besar mana mungkin
BalasHapushahaha, di postingan ini saya seolah mebongkar boboroknya mental pengendara motor termasuk saya sendiri :D
Hapuskalo di jakarta mungkin nggak bisa disamain sama di daerah-daerah semacam bogor sekalipun, mbak. kalo bandung udah mulai padat banget, tiap hari macet juga, apalagi kalo akhir pekan. kuncinya sekarang tinggal pada kesadaran masing-masing penduduk kota :)
Mobil itu kendaraan untuk orang pedesaan yg di desanya gak ada angkutan umum.
BalasHapushmm, bener juga ya. banyak juga sih daerah yg gak ada angkutan umum, selain ojek -__-
HapusKatanya mobil murah kok harganya 100 jutaan sih? Saya (memang) gagal paham tentang ini :|
BalasHapusYahh coba transportasi umum dibuat lebih nyaman lagi. Hari ginii, anak orang kaya mana ada yg mau naik angkot haha
BalasHapusBersyukur saja, dan jangan terlalu konsumtif dan mengandalkan gengsi. Bisa naik angkot saja sudah cukp. Hhheee
BalasHapusBagusnya sih, mobil murah dijualnya di luar Jakarta atau bahkan di luar pulau Jawa saja...
BalasHapus