Tanpa disadari, sedari dulu benak saya sudah disumpali oleh berbagai mitos yang datang dari orang-orang sekitar, maupun dari media semacam televisi. Saat masih bocah, misalnya, saya sering diperingatkan untuk tidak boleh menunjuk (tentunya dengan telunjuk) kuburan. Setelah dipikir-pikir, pantas saja tempat yang namanya kuburan itu sering kali sepi dan mencekam. Apabila ada orang yang mau ziarah dari luar daerah, kemudian bertanya kepada masyarakat setempat, nggak ada yang mau nunjukkin. Takut pamali.
Selain mitos berbau supranatural yang memang sudah mentradisi dalam benak orang Indonesia termasuk saya, ada mitos-mitos lain yang bikin saya geli. Semua mesin pompa air disebut Sanyo. Semua mie instan disebut Indomie. Semua pelantang suara buat demonstrasi disebut TOA. Hingga mitos bahwa hidup pada era orde baru jauh lebih sejahtera dibanding masa sekarang.
Yang paling absurd, betapa motor bermerek Honda sudah otomatis dilabeli orang Indonesia dengan jaminan mesin yang bandel, bahan bakar irit, serta tingginya harga jual kembali. Saya pernah iseng bertanya kepada orang-orang tua, mengapa mereka lebih memilih motor honda, sekalipun motor merek lain bisa jadi mempunyai spesifikasi jauh lebih baik dengan harga lebih rasional. Katanya, mereka sudah terbiasa dengan brand Honda sejak zaman orangtua mereka, lantaran Hondalah merek motor pertama yang merambah Indonesia. Lebih tepatnya, merek motor yang akrab dengan kocek dan logika orang Indonesia, ya Honda. Honda terkenal irit, mesin bandel dan tetap halus, kendati sudah digeber bertahun-tahun. Itu kata mereka, yang rata-rata kelahiran 60an ke bawah.
Kemudian saya tanya mas-mas yang saya duga belum genap berusia 30. Kenapa sampai sekarang Honda masih saja merajai pemasaran sepeda motor.
“Wah, Honda itu mesinnya bandel, to, Mas. Dari zaman bapak saya, makenya ya motor Honda. Nggak pernah mau pake merek lain.”
“Lah, tahu dari mana mesin Honda bandel. Sering otak-atik mesin?”
“Ya, nggak lah, Dek. Saya mana sempat bongkar-bongkar mesin. Seharian di kantor, Sabtu-Minggu ngajak maen anak istri ke mal. Cuma make doang.”
“Mas paranormal, ya? Kok bisa nyimpulin mesin Honda bandel.”
“Haha, Adek bisa aja. Gini, loh. Lihat aja di jalanan. Masih sering lihat Astrea Grand, Astrea Prima? Atau bahkan CB atau bebek tujuh puluh? Itu loh, motor yang dipake di film Tarix Jabrix, sama bebek kurus yang warnanya merah.”
“Hmm, bener, Mas. Sekilas saya suka melihat mereka melintas, sih. Tapi masak cuma gara-gara sering lihat, Mas bisa nyimpulin kalo mesin Honda bandel dibandingin sama merek lain.”
“Nah, itu nunjukkin kalo mesin Honda bandel! Buktinya, dari dulu ampe sekarang, motor itu masih bisa dikendarai, kan, walau udah berumur?”
“Ah, jangan-jangan itu bukan mesin asli bawannya. Itu hasil overhaul, Mas.”
“Pernah lihat Yamaha jadul, nggak? Crypton, misalnya? RX-King sih pengecualian, karena banyak yang hobi, to. Atau Kawasaki, Suzuki berkeliaran di jalan? Jarang, kan?”
“Lah, mau sering lihat bagaimana. Wong orang-orang zaman dulu tahunya motor itu ya Honda. Ya pasti 90% orang Indonesia pada beli motor merek Honda!”
Mas-mas itu terdiam sejenak. “Wah, bener juga kamu, ya. Kok, saya jadi bingung. Hmm, gini, loh. Mesin Honda itu gampang diservis sama bengkel, sekalipun bengkel pinggir jalan yang bentuknya bedeng itu. Terus, onderdil Honda itu mudah didapat. Ada yang ampe KW3 malahan. Jadinya murah. Hemat.”
“Itu juga sama. Montir-montir udah telanjur familiar sama mesin Honda, lantaran hampir semua yang mampir servis atau kebetulan mogok, pada pake merek itu. Itu mah montirnya aja yang males belajar mesin merek lain. Lagian, saya kasian sama motor saya kalo dia dikasih suku cadang KW3.”
Lagi-lagi dia tercenung. Tapi rupanya dia malu mengakui kekalahan adu mulut dengan saya yang anak ingusan ini. “Harga jual motor Honda itu nggak jatuh kayak yang lain, Dek. Makanya pada beli motor Honda, supaya nggak rugi.”
“Saya cuma mau beli motor, Mas. Nggak niat buat jual motor.”
“Loh, siapa tahu sampeyan suatu waktu butuh duit, to? Bisa, kan jual motor, tanpa ngalamin rugi yang gede-gede amat. Dek, hidup itu nggak sepenuhnya mulus. Sampeyan mesti nyiapin investasi berbentuk barang buat masa depan, yang bisa dijual kalo kita butuh. Kalo kita kepepet.”
“Ya, ya. Saya nyerah. Ya udah. Saya jadi beli motor dagangan sampeyan, deh Mas. Saya langsung pake, ya. Nggak boleh nyanggah pernyataan orang yang lebih tua, kan? Pamali.”
Masih banyak mitos-mitos lain yang sebenarnya tidak punya bukti otentik. Bahwa kualitas mobil buatan Korea jauh lebih buruk ketimbang buatan Jepang, si jawara otomotif di negeri kita itu, sekalipun harga mobil Jepang lumayan overpriced dengan desain yang sebetulnya monoton. Bahwa onderdil otomotif pabrikan Eropa dan Amerika susah didapat, bila didapat pun mahal, ketimbang pabrikan Jepang. Padahal, banyak sekali onderdil otomotif pabrikan Jepang yang jelas-jelas KW3, bahkan ada yang dijual dengan harga orisinal, padahal palsu.
Bahwa profesi sebagai tentara, polisi, PNS, dokter, birokrat, pegawai kantoran dianggap beberapa derajat lebih tinggi tinimbang profesi pengusaha yang jelas-jelas membuka lapangan kerja bagi ribuan penduduk, atau insinyur, desainer, seniman. Bahwa mitos orde baru yang jauh lebih nyaman, aman, tenteram, sejahtera ketimbang masa kini, direpresentasikan dengan stiker-stiker yang biasa ditempel di angkot-angkot atau baliho caleg tengil: “Piye kabare? Enakan jamanku, to?”.
Padahal kini Indonesia mulai merangkak. Mungkin tidak lama lagi bakal “injak bumi”. Siapa tahu saat orde baru, Indonesia memang sudah bisa berjalan dan berlari. Sayang, bisa berjalan dan berlarinya itu lantaran dipapah terus-terusan sama orang asing. Jadinya Indonesia keenakan dan manja. Giliran dilepas papahannya, jatuh tertelungkup, deh.
Saya kerap kali telanjur memercayai suatu perkara, tanpa mencari tahu lebih dahulu muasalnya. Sekadar bukti tradisi, bukti kuantitas, bukti opini belaka yang amat relatif, hingga bukti-bukti yang sesungguhnya telah dimanipulasi pihak-pihak yang berkepentingan. Tanpa pernah orang-orang menelisik lebih dalam sebuah kebenaran. Entah takut. Entah malas.
Selain mitos berbau supranatural yang memang sudah mentradisi dalam benak orang Indonesia termasuk saya, ada mitos-mitos lain yang bikin saya geli. Semua mesin pompa air disebut Sanyo. Semua mie instan disebut Indomie. Semua pelantang suara buat demonstrasi disebut TOA. Hingga mitos bahwa hidup pada era orde baru jauh lebih sejahtera dibanding masa sekarang.
Yang paling absurd, betapa motor bermerek Honda sudah otomatis dilabeli orang Indonesia dengan jaminan mesin yang bandel, bahan bakar irit, serta tingginya harga jual kembali. Saya pernah iseng bertanya kepada orang-orang tua, mengapa mereka lebih memilih motor honda, sekalipun motor merek lain bisa jadi mempunyai spesifikasi jauh lebih baik dengan harga lebih rasional. Katanya, mereka sudah terbiasa dengan brand Honda sejak zaman orangtua mereka, lantaran Hondalah merek motor pertama yang merambah Indonesia. Lebih tepatnya, merek motor yang akrab dengan kocek dan logika orang Indonesia, ya Honda. Honda terkenal irit, mesin bandel dan tetap halus, kendati sudah digeber bertahun-tahun. Itu kata mereka, yang rata-rata kelahiran 60an ke bawah.
Kemudian saya tanya mas-mas yang saya duga belum genap berusia 30. Kenapa sampai sekarang Honda masih saja merajai pemasaran sepeda motor.
“Wah, Honda itu mesinnya bandel, to, Mas. Dari zaman bapak saya, makenya ya motor Honda. Nggak pernah mau pake merek lain.”
“Lah, tahu dari mana mesin Honda bandel. Sering otak-atik mesin?”
“Ya, nggak lah, Dek. Saya mana sempat bongkar-bongkar mesin. Seharian di kantor, Sabtu-Minggu ngajak maen anak istri ke mal. Cuma make doang.”
“Mas paranormal, ya? Kok bisa nyimpulin mesin Honda bandel.”
“Haha, Adek bisa aja. Gini, loh. Lihat aja di jalanan. Masih sering lihat Astrea Grand, Astrea Prima? Atau bahkan CB atau bebek tujuh puluh? Itu loh, motor yang dipake di film Tarix Jabrix, sama bebek kurus yang warnanya merah.”
“Hmm, bener, Mas. Sekilas saya suka melihat mereka melintas, sih. Tapi masak cuma gara-gara sering lihat, Mas bisa nyimpulin kalo mesin Honda bandel dibandingin sama merek lain.”
“Nah, itu nunjukkin kalo mesin Honda bandel! Buktinya, dari dulu ampe sekarang, motor itu masih bisa dikendarai, kan, walau udah berumur?”
“Ah, jangan-jangan itu bukan mesin asli bawannya. Itu hasil overhaul, Mas.”
“Pernah lihat Yamaha jadul, nggak? Crypton, misalnya? RX-King sih pengecualian, karena banyak yang hobi, to. Atau Kawasaki, Suzuki berkeliaran di jalan? Jarang, kan?”
“Lah, mau sering lihat bagaimana. Wong orang-orang zaman dulu tahunya motor itu ya Honda. Ya pasti 90% orang Indonesia pada beli motor merek Honda!”
Mas-mas itu terdiam sejenak. “Wah, bener juga kamu, ya. Kok, saya jadi bingung. Hmm, gini, loh. Mesin Honda itu gampang diservis sama bengkel, sekalipun bengkel pinggir jalan yang bentuknya bedeng itu. Terus, onderdil Honda itu mudah didapat. Ada yang ampe KW3 malahan. Jadinya murah. Hemat.”
“Itu juga sama. Montir-montir udah telanjur familiar sama mesin Honda, lantaran hampir semua yang mampir servis atau kebetulan mogok, pada pake merek itu. Itu mah montirnya aja yang males belajar mesin merek lain. Lagian, saya kasian sama motor saya kalo dia dikasih suku cadang KW3.”
Lagi-lagi dia tercenung. Tapi rupanya dia malu mengakui kekalahan adu mulut dengan saya yang anak ingusan ini. “Harga jual motor Honda itu nggak jatuh kayak yang lain, Dek. Makanya pada beli motor Honda, supaya nggak rugi.”
“Saya cuma mau beli motor, Mas. Nggak niat buat jual motor.”
“Loh, siapa tahu sampeyan suatu waktu butuh duit, to? Bisa, kan jual motor, tanpa ngalamin rugi yang gede-gede amat. Dek, hidup itu nggak sepenuhnya mulus. Sampeyan mesti nyiapin investasi berbentuk barang buat masa depan, yang bisa dijual kalo kita butuh. Kalo kita kepepet.”
“Ya, ya. Saya nyerah. Ya udah. Saya jadi beli motor dagangan sampeyan, deh Mas. Saya langsung pake, ya. Nggak boleh nyanggah pernyataan orang yang lebih tua, kan? Pamali.”
Masih banyak mitos-mitos lain yang sebenarnya tidak punya bukti otentik. Bahwa kualitas mobil buatan Korea jauh lebih buruk ketimbang buatan Jepang, si jawara otomotif di negeri kita itu, sekalipun harga mobil Jepang lumayan overpriced dengan desain yang sebetulnya monoton. Bahwa onderdil otomotif pabrikan Eropa dan Amerika susah didapat, bila didapat pun mahal, ketimbang pabrikan Jepang. Padahal, banyak sekali onderdil otomotif pabrikan Jepang yang jelas-jelas KW3, bahkan ada yang dijual dengan harga orisinal, padahal palsu.
Bahwa profesi sebagai tentara, polisi, PNS, dokter, birokrat, pegawai kantoran dianggap beberapa derajat lebih tinggi tinimbang profesi pengusaha yang jelas-jelas membuka lapangan kerja bagi ribuan penduduk, atau insinyur, desainer, seniman. Bahwa mitos orde baru yang jauh lebih nyaman, aman, tenteram, sejahtera ketimbang masa kini, direpresentasikan dengan stiker-stiker yang biasa ditempel di angkot-angkot atau baliho caleg tengil: “Piye kabare? Enakan jamanku, to?”.
Padahal kini Indonesia mulai merangkak. Mungkin tidak lama lagi bakal “injak bumi”. Siapa tahu saat orde baru, Indonesia memang sudah bisa berjalan dan berlari. Sayang, bisa berjalan dan berlarinya itu lantaran dipapah terus-terusan sama orang asing. Jadinya Indonesia keenakan dan manja. Giliran dilepas papahannya, jatuh tertelungkup, deh.
Saya kerap kali telanjur memercayai suatu perkara, tanpa mencari tahu lebih dahulu muasalnya. Sekadar bukti tradisi, bukti kuantitas, bukti opini belaka yang amat relatif, hingga bukti-bukti yang sesungguhnya telah dimanipulasi pihak-pihak yang berkepentingan. Tanpa pernah orang-orang menelisik lebih dalam sebuah kebenaran. Entah takut. Entah malas.
Tags:
lifepedia
hmmm itu sih mungkin karena lebih kenal duluan sama merk tertentu jadi yg lain dibilang gak bandel
BalasHapus"bisa jadi bisa jadi"
eh tapi masa kek gitu masuk mitos? mitos kan kl duduk depan pintu gak dapet jodoh hahahaha
walah, iya bener banget!! aku duduknya di "lawang panto" mulu lagi :O
Hapushayah :))
Hapushoyohhh :||
Hapusbaru tahu aku Cepy ada stiker model bgt yg dibikin caleg tengil , ckckckckc
BalasHapusciyus lho mbak. parah banget tuh stiker -__-
HapusAda temen yg maniak honda bilang kalao motornya ini raja tanjakan. Lalu kami boncengan romantis berdua, eh macet di tengah jalan pas naik gunung. Hahahahha mungkin berat badan kami yg gak kompak.
BalasHapushahaha nasib kita nggak jauh beda mas. sampai-sampai, dulu pas di tanjakan Lembang, saya kepaksa tukeran motor sama temen XD
Hapussetau saya honda dikenal karena dulu yang lain masih produksi motor 2 tak, sedangkan honda sudah melangkah ke mesin 4 tak yang engga ribet. Jadi masyarakat lebih kenal honda dp merek lain
BalasHapushehehe, setuju mas. pelopor 4 tak yang motornya "cukup"terjangkau ya honda :)
Hapus"Bahwa profesi sebagai tentara, polisi, PNS, dokter, birokrat, pegawai kantoran dianggap beberapa derajat lebih tinggi tinimbang profesi pengusaha yang jelas-jelas membuka lapangan kerja bagi ribuan penduduk"
BalasHapusNah yang ini saya juga bingung. Padahal jelas jelas mereka itu kan karyawan, dalam arti masih bawahannya orang lain. Kalo pengusaha meskipun pakaiannya gak rapi2 amat kaya karyawan itu, tapi kan mereka "bos yang sesungguhnya"
betul, pak. malah saya lebih senang melihat pedagang tempe atau kangkung di pasar yang mendapat uang dari peluh sendiri, bukan dari kucuran negara :)
Hapus