Nostalgia: Novel Anak Kelompok 2&1, Anggitan Dwianto Setyawan


Suka membaca cerita anak? Sekarang saya merindukan membaca novel anak-anak ini di kamar di Bandung sana, sambil beberapa kali ditegur Mamah lantaran seharian itu kerjaan saya cuma membaca doang, malas disuruh ngapa-ngapain, hahaha. Entah deh nasib buku dan majalah anak-anak―beberapa di antaranya tentang Kelompok 2 dan 1―yang dulu menumpuk di rumah kabarnya sudah lama dijual dengan harga sukarela. Dikiloin. Untungnya Lima Sekawan-nya Enid Blyton masih tersimpan dengan rapi, urung dikiloin.

Yan, Ira, dan Dede. Mereka membuat novel anggitan Dwianto Setyawan sangat hidup. Bisa dibilang, saya yang sudah segede jebrog sekarang pun sedikit terpengaruh oleh karakter ketiga tokoh ini. Tokoh Yan yang cerdik, brilian―sesuai namanya―namun sering kali plin-plan. Ira, adik kandung Yan sekaligus tokoh perempuan dalam Kelompok 2 dan 1 ini teliti dalam menelaah kasus, tapi mudah terpengaruh orang lain. Lain lagi dengan Dede. Tokoh anak laki-laki berkacamata―yang juga anak orang berada―ini mudah tersulut amarah, suka bertindak serampangan, dan kerap kali menghambat proses pengungkapan kasus kriminal yang tengah mereka hadapi.

Tapi berkat kelebihan-kekurangan ketiganyalah, anggota Kelompok 2 dan 1 tidak bisa bertindak sendiri-sendiri. Mereka selalu berpikir dan melakukan analisis bersama-sama, dengan diwarnai konflik-konflik sebagai bumbu yang renyah untuk tetap dibaca oleh anak-anak.

Detektif Cilik

Ya, sebutlah Kelompok 2 dan 1 sebagai trio detektif cilik, yang sering kali membantu Letnan Dipa―polisi Reskrim setempat―mengungkap kasus kriminal seperti pencurian, perampokan, hingga penculikan di sekitar mereka. Sulit diterima secara nalar, karena anak-anak takkan mungkin memiliki analisis sedalam logika Yan, Ira dan Dede. 

Bukan itu, saya rasa, amanat yang Pak Dwianto Setyawan maksudkan. Bukan agar seluruh anak-anak Indonesia jadi polisi. Melainkan supaya anak-anak Indonesia tidak mudah dibohongi, dibodohi orang lain. Atau, supaya keseharian anak-anak Indonesia tidak sekadar bermain dan merengek belaka, melainkan cepat tanggap dan peka terhadap peristiwa sosial di sekitar mereka. Cukup utopia.

Hal yang menarik bagi saya yakni latarnya: antara 80-90an. Saya pun belum lahir. Membaca novel ini seperti menoleh ke masa lampau, apa saja kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak pada masa itu. Sarapan pagi sekeluarga sembari menyimak berita di radio, bermain halma, bersepeda sore-sore, lari pagi setiap Minggu, merupakan kegiatan anak-anak yang sering diceritakan dalam novel ini. Tampaknya, dulu, Sponge Bob Square Pants atau pun Sailormoon enggan kalau ditayangkan di TVRI, hahaha.

Hal menarik lain, ternyata sedari dulu pun orang jahat selalu ada. Atau setidaknya, yang berniat jahat. Saya pikir, saya harus memaklumi keadaan sekarang yang semakin kalut ini. Memindai media online, muncullah berita tawuran, pencurian, penculikan, pencucian uang, perampokan ATM, bentrok antar ormas. Berita korupsi dan prostitusi sudah sangat biasa. Dengan pasrah, saya pun percaya apa yang dikatakan Gede Prama,

Jangan terlalu membenci orang jahat karena, ia ada di semua zaman. Sama dengan dubur yang selalu ada di setiap tubuh manusia.
Saya rasa, pantaslah Kelompok 2 dan 1 atau pun judul cerita anak lain karya Dwianto Setyawan bila disandingkan dengan cerita anak anggitan pengarang luar negeri, semacam Alfred Hitchcock, Enid Blyton, Meg Cabot, hingga James Patterson. Cerita beliau yang membekas hingga saya beranjak dewasa, latar tempat dan waktu yang kuat, serta karakter-karakter tokoh di dalamya yang sangat memengaruhi karakter diri saya pribadi.

Saya percaya ihwal apa yang dikatakan oleh James Patterson, pengarang produktif yang sangat peduli terhadap anak-anak,

Betapa pentingnya membaca kepada siapapun, terutama anak-anak dan remaja. Membaca punya kekuatan mengubah seorang anak menjadi warga negara dan warga dunia yang lebih baik. Dan kualitas hidup seseorang turut ditentukan oleh buku-buku yang mereka baca pada masa kanak-kanak.
Apa kabarnya, Pak Dwianto Setyawan? Semoga Tuhan senantiasa memberkahi anda.

6 Komentar

  1. Kamu lahir tahun Berapa ya? Jangan jangan kita seumuran. Haha..

    Masa kaceilku zaman dulu kalo cuma dihabiskan buat baca buku ya eman banget. Masa kecil dulu khan anak anak pada suka bermain di luar rumah. Iklim masih sejuk danlingkungan masih aman gak serunyam sekarang yg banyak penculikanap anak. Atau lalu lintas yg padat. Zaman dulu anak anak kecil lari larian di tengah jalan juga ga khawatir ketabrak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. huahahaha, aku masih muda toh, mas, duwak-duwak taun. cuma selera, penampilan, sama muka aja yang tua :)))
      hampir sama mas. kampung kelahiranku sekarang pun udah beda jauh. makin padet, macet, panas pula. sawah-sawah udah tergantikan bangunan-bangunan beton :|

      Hapus
  2. Balasan
    1. sama gan. saya juga lebih doyan nasi goreng kok :)))

      Hapus
  3. Dulu waktu masih SD (tahun 80an), saya pernah baca serial ini, gak kalah deh dengan Trio Detektif

    BalasHapus
  4. Novel ini emang selalu terkenang sepanjang masa. :))

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama