Dokter Tua

Menurut saya, ada sebuah kekeliruan perihal anggapan bahwa, hidup itu harus merangkak ke arah lebih baik. Lebih tajir. Lebih glamor. Lebih segala-galanya.

Di sebuah persimpangan, berdiri sebuah rumah tua. Mungkin sudah puluhan tahun dia lelah berdiri. Hanya ditambal dempul sana-sini. Dan polesan cat putih pucat.

Setiap sore, dan sebentar pada pagi hari, dua orang dokter membuka tempat praktik di situ. Dokter gigi. Dan dokter umum. Usia keduanya saya kira sudah tidak bisa dibilang belia. Bila mengamati beberapa keriput di wajah serta gaya bicaranya, mungkin angka 50 telah lewat empat-lima tahun lalu.

Ada yang menarik. Di kala pelbagai klinik 24 jam yang dipraktiki dokter-dokter muda nan tampan dan cantik bagai artis korea, begitu menjamuri kota hingga pelosok, ternyata masih ada tempat praktik semacam itu. Tempat yang bersahaja (baca: bobrok). Saking tuanya, saya pikir dinas tata kota sudah gatal mengerahkan mobil beko guna meratakan tempat itu untuk menjualnya ke pengusaha mini market.

Aneh, tuanya usia tempat praktik maupun usia dokter, tidak membuatnya kalah pamor dibanding klinik 24 jam. Setiap sore, terkadang pagi hari pun, pasien-pasien masih saja menyesaki tempat tua itu, mengantre nomor panggilan dokter gigi atau dokter umum.

Justru sebaliknya. Klinik-klinik baru yang punya segudang rekanan perusahaan asuransi yang terpampang jelas dalam reklame besar, biasa-biasa saja di mata konsumen. Paling tidak di mata saya pribadi. Teman saya bilang, daripada berobat ke situ, mending manggil tukang urut. Dalihnya, dia punya pengalaman tidak mengenakkan dengan klinik itu. Jelas-jelas dia alergi antibiotik, malah dikasih dokter tanpa keterangan. Dosis obatnya terlalu tinggi baginya. Ongkos periksanya pun.

Kalau sudah begitu, masak iya sembuh dengan sekadar memelototi bangunan klinik yang bagus dan modern itu.
Perkembangan pemasaran yang bergerak lesat, tidak dibarengi dengan kualitas. Bagaimanapun, hidup lebih baik, lebih tajir, lebih mewah, lebih glamor kurang tepat. Jangan sampai terlena oleh strategi pemasaran, kelimpahan koneksi, marketing yang sudah multilevel. Sudah saatnya kembali bergelut dengan kualitas. Dan kepercayaan nyata.

12 Komentar

  1. kualitas itu nomor satu ya Cepy :)

    BalasHapus
  2. sepertinya sih begitu mbak ;p

    BalasHapus
  3. Kualitas memang yang utama Cep. Banyak memang sekarang klinik yang jualan "tampang"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju. Tapi mending mencegah ya mas, daripada harus ke dokter ._. #yaiyalah
      apa kabar, mas dani? :)

      Hapus
  4. Setuju. Sekarang ini iklan dibuat sangat menggoda. Contoh iklan di tipi aja deh. Mana ada rambut bisa lembut kayak gitu. Itu pasti animasi hahahaha..

    Semoga komenku nyambung yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwk iya, mana ada pake sabun muka langsung berubah jadi pasha ungu :))
      Relevan banget lah.

      Hapus
  5. aku tak bisa berkata-kata membaca postingan cepy yg ini dan yg kemarin,
    rasanya bahasannya lebih berat dari judul skripsi aku
    #oke #anaknya #lagi #skip :'|

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah, masa iya mahasiswa tingkat akhir nganggap berat tulisan sayah. Yang berat mah berat badan saya, ven ._.
      Ciyee, bolak balik dosbim ciyee :3

      Hapus
    2. iyaaa kan lagi skip hahaha
      distop dulu bimbingannya :D
      eh iya sih lebih berat badannya cepy :'D

      Hapus
    3. Aku masih dua tahun lagi ngerasain kayak dirimu ven *pokerface* enak gak sih nulis skripsi? :'D
      Fufufu.

      Hapus
  6. Saya justru cari dokter yang sudah tua karena (terlihat) lebih pengalaman he he. Ada pemikiran, makin tua makin berisi, yang dirasa penting untuk profesi sepenting dokter.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama