Penulis : Paulo Coelho
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (2006), edisi Bahasa Indonesia
Jumlah halaman : 440
Paulo Coelho? Sudah sering saya temukan nama pengarang asal Amerika Latin itu di rak-rak novel terjemahan di toko buku, tetapi baru kali ini saya berani menyentuh salah satu karyanya: The Zahir. Seusai membaca, saya memutuskan untuk menambahkan Paulo Coelho ke deretan pengarang yang seluruh karyanya wajib dikoleksi.
Sejak awal cerita, konflik langsung mengemuka. Si penutur Aku yang mempunyai istri bernama Esther, kerap terlibat perdebatan dan pertengkaran: bercerai, rujuk lagi, bercerai lagi, hingga Esther menemukan acomodador; memutuskan untuk meninggalkan suaminya dengan dalih menunaikan tugas sebagai wartawan perang di Afganistan.
Selama hidup tanpa Esther, ada Marie―aktris film―yang menemaninya. Namun, tetap saja, bukan Marie atau wanita di bar atau wanita penggoda lain yang merupakan Zahir baginya selain Esther.
Napak tilas cinta. Begitu saya simpulkan misi utama The Zahir. Sesuai judulnya, Zahir―yang menurut penggalan cerpen Borgez yaitu sesuatu yang memenuhi pikiran kita hingga kita tak diberi kesempatan memikirkan hal lain―tokoh Aku napak tilas, mengikuti jejak istrinya selama ini. Tibalah ia di Prancis, restoran Armenia, menemukan Mikhail dengan perkumpulan sektenya. Begitulah hari-hari berikutnya, sang suami mencari-cari Zahir melalui mulut-mulut anggota sekte restoran Armenia yang setiap Kamis malam saling bercerita masa lalu, hingga dua tahun berlalu.
Berkat Mikhail pula, setelah dua tahun, tokoh Aku bertekad untuk menyongsong istrinya. Keberadaan Esther bukanlah di Afganistan sebagai wartawan perang, melainkan di Kazakhstan, negara terbelakang pecahan Soviet yang tingkat radioaktivitasnya teramat tinggi akibat pengembangan teknologi nuklir.
Entah suatu kesengajaan, tokoh Aku begitu mirip dengan sang pengarang sendiri: berprofesi sebagai penulis yang karya-karyanya selalu masuk kategori bestseller, sehingga secara tersirat melimpah ruah rangkaian kalimat tentang bagaimana keseharian hidup seorang pengarang terkenal, problematika menghadapi pembaca, wartawan, hingga menanggapi kritikus sastra dengan santai dalam novel ini.
Dari situ, saya bisa memetik banyak sekali wawasan kepengarangan: “Sebagian besar penulis lebih mementingkan gaya daripada isi; mereka berusaha tampil orisinal tapi malah jadi menjemukan…” (hal. 51).
Atau “…semua yang tertulis di bukuku adalah bagian dari jiwaku…” (hal. 166).
Hingga, cara si tokoh menghadapi kritikus sastra: “…aku dicintai para pembacaku dan dibenci kritikus (yang memujaku sampai aku menjual 100.000 buku, tapi sejak saat itu aku bukan lagi ‘jenius yang disalahpahami’)…” (hal. 56)
Pada akhirnya, novel ini menyuguhkan penelusuran cinta yang rumit dan panjang, namun tetap bisa diramu dengan manis sehingga enak dibaca. Hanya saja, untaian dialog panjang-panjang yang banyak bertebaran dalam Zahir ini begitu membuat pikiran lekas penat untuk membaca secara cepat; butuh beberapa kali menarik napas, berpikir resap-resap, kemudian barulah paham makna serta pesan moral yang ternyata begitu dalam. []
Tags:
ulasan
wah .. kapan aku bisa baca langsung ya Cepy ?
BalasHapusini novel dari luar kok mbak, udah diterjemahin ke beberapa bahasa. pasti banyak tersedia di mana-mana, hehehe :D
Hapushrs ngecek ke Thalia nih :D
Hapuswah, thalia itu semacam toko bukukah? :bingung
HapusUdah pernah baca sekali.
BalasHapusmaaf, baru bales.
Hapushehe, share juga dong resensinya, bang :D
saya bingung dengan endingnya, jadi esther benar-benar hamil oleh mikhail, atau bagaimana?
BalasHapus