Pilihan

Hidup itu pilihan. Bila tak lekas memilih suatu jalan atau beberapa, sejatinya kita telah terseret menuju ambang kematian. Kematian identitas, jati diri.

Tak sengaja, saya menemukan beberapa teman-teman semasa SMP di facebook. Mereka, kawan-kawan lama itu, begitu berbeda dengan dahulu. Entah, menurutku, sih. Zaman sekarang, facebook sudah menjadi simbol eksistensi, bukan? Eksistensi manusia berbalutkan album-album foto pribadi yang diunggah ke sana, ratusan foto-foto yang di-tag kepadanya, serentetan kafe, resto, diskotek, atau destinasi rekreasi yang pernah disambangi oleh mereka (check-in), occupation status, hingga perihal relationship status.  Maka, perkiraan subjektif saya, mereka begitu berubah pada beberapa segi.

Berbeda dengan teman-teman semasa SMK (STM) yang minimal sekali setahun menyempatkan bertemu dengan mereka, jujur, saya belum pernah berjumpa lagi dengan teman-teman SMP, semenjak terakhir kali menyaksikan mereka berbalut jas serta kebaya di sebuah aula, dalam sebuah acara perpisahan kelas tiga silam. Sekali lagi, banyak perubahan yang terjadi pada teman-teman saya. Perubahan positif, maupun perubahan stagnan (sebab, bagiku, sebuah perubahan manusia tak ada yang negatif). Saya enggan mengupasnya terlalu detail di sini. Intinya, saya terharu sekaligus bahagia sekaligus pula iri, menyaksikan perubahan yang terjadi pada kehidupan teman-teman saya.

Iri itu tidak baik? Iri itu penyakit hati? Sepertinya begitu. Akan tetapi, rasa iri bisa menggugah diri pribadi terlecut ketimbang pujian setinggi langit. Iri, juga dapat menimbulkan kewaspadaan betapa pentingnya memelihara harapan dan impian, agar tak tertinggal terlampau jauh oleh teman-teman lama yang sedemikian lesat berlari memburu karier bak kujang. Supaya saya eksis? Hmm, di dunia ini, pada dasarnya setiap orang mempunyai hasrat untuk eksis. Hanya, masing-masing orang mempunyai pandangan serta metode berbeda-beda dalam mencapai dan meraih eksistensi. Saya pun.

Memang, saya bukanlah tergolong siswa populer pada masa-masa sekolah dulu. Mungkin, hingga saya berkuliah kini. Saya pemalu. Begitu malu untuk meruahkan jati diri saya yang sebenarnya kala masa-masa sekolah silam. Entah. Mungkin, lantaran tak ada wadah yang sesuai dengan hasrat dan minat saya di sekolah tersebut? Atau, jarang sekali teman-teman masa sekolah yang mempunyai visi dan misi hidup yang serupa dengan saya? Namun, tak usah khawatir. Sekarang, taraf sifat pemalu saya sudah naik kelas menjadi malu-maluin. Eh, he-he.

Sudahlah. Ah, lagian, kenapa, sih, semalam, mesti ditakdirkan nge-drag scroll tab untuk memindai sugestion friend!

8 Komentar

  1. Berkunjung gan, sangat bagus sekali postingannya.

    BalasHapus
  2. cepy? pemalu? :ngakak
    eksis banget kali di dunmay :thumbup

    BalasHapus
    Balasan
    1. *pasang muka malu* :malu
      eksis ven, eksis nyampahnya :ngakak

      Hapus
  3. baru tahu aku malah kalau kamu pemalu Cepy, ngak terlihat soalnya dr postinganya :)

    kok aku telat baca postinganmu ini ya ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. :ngakak tapi, itu dulu mbak, sekarang mah malu-maluin :D

      Hapus
  4. Bener banget, emang kadang suka dibikin bingung sama pilihan.
    btw, Malu-maluin sama gak taun malu itu beda tipis ya? hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, masa, San? hehehe, iya, gue juga gak tau, nih, dalam hal apa pun, udah berapa kali dihadapkan untuk memilih :)
      haha, hidup malu-maluin! :ngakak

      Hapus
Lebih baru Lebih lama