Sekadar Ucapan Selamat

Pagi itu seperti biasa aku mempersiapkan buku-buku pelajaran ke dalam ransel buluk kesayanganku, satu persatu kuperiksa kembali, aku tak ingin satu buku pun tertinggal. Setelah kurasa yakin beberapa buku pelajaran hari ini sudah berpindah tempat dari meja belajar ke dalam ransel, aku bergegas menyambar handuk menuju kamar mandi. Kuambil pasta gigi beserta sikatnya, kubebaskan gigi dari plak kuning nan tebal menjijikan itu. Tak lama, guyuran air dari gayung perlahan membasahi tubuh kurusku, kudengar gemeletuk gigiku menahan dinginnya air dan udara pagi kota Bandung. Ya, sekali pun menurut sebagian besar orang bahwa Kota Seribu FO ini sudah tidak sedingin dua puluh tahun yang lalu, bagiku merupakan suatu keharusan untuk menganggarkan hari libur sebagai hari libur pula untuk mandi pagi. Terkecuali hari Minggu, bisa didamprat oleh Mama jika aku menolak mandi pagi. Aku harus menghadiri kebaktian setiap Minggu pagi.

Tak ingin berlama-lama di kamar mandi karena gemeletuk gigiku makin kentara saja, aku memutuskan untuk mengakhiri ritual wajib setiap berangkat sekolah ini. Setelah berjalan berjingkat-jingkat ke kamar tidur, kukenakan seragam putih abu dengan terburu-buru, takut terlambat lagi untuk kedua kali, lalu disuruh guru piket berlari mengitari lapangan lima keliling dengan bertelanjang dada serta telapak kaki yang telanjang pula. Hal getir itu pernah sekali kualami, demi Tuhan, malunya minta ampun. Aku sangat beryukur satu-satunya perempuan yang kutaksir di sekolah tak ditakdirkan untuk menyaksikanku berlari kepayahan mengitari lapangan. Seandainya saja ia melihatku bertelanjang dada memamerkan tubuh yang tinggal tulang belulang ini, hmm.. Tiba-tiba lamunanku buyar saat kudengar teriakan Mama dari dapur, panggilan penanda sarapan pagi.

“Daniel, masih saja kamu menggigil begitu sehabis mandi pagi. Memang kamu baru berapa hari sih tinggal di Bandung, sayang?” Mama meledekku seraya tersenyum. Aku diam saja, terlalu sibuk menghadapi hidangan sarapan pagi nan lezat yang tersaji di atas meja makan, nasi goreng buatan Mama beserta beberapa potong sosis yang digoreng hingga ujung sosisnya merekah, dan telur mata sapi setengah matang kesukaanku. Kulahap dengan cepat hingga tak sebutir nasi pun tersisa di atas piring. Kusambar gelas berisi teh manis hangat yang sudah terlanjur dingin, kuteguk hingga tetes terakhir.

“Aku berangkat dulu, Ma! Baik-baik di rumah ya,” kataku seraya mencium punggung tangan kanannya.

“Huuuu, perkataanmu seperti orangtua saja. Nanti cepat tua lho,” Mama mencubitku. “Ya sudah, hati-hati ya, sayang. Belajar yang bener, beberapa bulan lagi UN, kan?”

“Oke bos, laksanakan!” aku bergegas berlari membuka pagar, kemudian kuhentikan angkot tujuan SMA-ku yang kebetulan biasa melintas di depan rumahku yang terletak tepat di pinggir jalan raya. Mama hanya tersenyum menyaksikan keterburu-buruanku pagi itu. Emh, kurasa setiap pagi.

***

Hari ini ada pelajaran Pendidikan Agama Islam yang biasa disingkat PAI itu, tentu aku tak turut belajar, seperti biasa aku menunggu di luar kelas, duduk di selasar koridor kelas yang cukup nyaman untuk kududuki, bersama beberapa temanku dari kelas lain yang juga non-muslim.

Ketika sedang terhanyut dalam obrolan ringan bersama temanku, tidak sengaja kudengar suara lantang Pak Gojali guru PAI kelasku berapi-api menyatakan beberapa kalimat yang seketika membikin benakku tersentak. Saking lantangnya suara serta berapi-apinya beliau, walau jarak kelas agak jauh dengan tempatku duduk saat itu, namun aku bisa mencerna dengan cukup jelas apa yang dikatakan beliau. Apakah kamu bisa menerka apa yang beliau katakan kepada seisi kelas?

Pak Gojali menjelaskan bahwa haram hukumnya bagi umat muslim untuk mengucapkan ucapan selamat hari raya Natal kepada kaum Nasrani. Perbuatan itu jauh lebih berdosa dibandingkan dengan mengucapkan “selamat bermaksiat” atau pun mengucapkan “selamat minum khamar” sekali pun, katanya. Aku tertegun, kuharap teman-teman sebelahku tak mendengar perkataan Pak Gojali, cukup diriku saja.

“Jadi, tepat hari esok tanggal 25 Desember 2012 jangan sampai kalian mengucapkan sepatah kata pun ucapan selamat hari raya Natal kepada orang Nasrani, sekali pun orang Nasrani tersebut tak lain adalah teman dan kerabat kalian. Ingat, dalam bentuk apa pun, SMS, BBM, twit, update status apalagi jika kalian menyatakannya secara langsung. Memangnya kalian mau masuk neraka, murid-muridku?” Pak Gojali seakan mendoktrin seluruh anak didiknya, lalu dibalas dengan koor setuju dari lisan teman-teman sekelasku.

Sejenak pikiranku terkenang peristiwa beberapa tahun silam, ketika rasa sakit yang teramat pedih merundung benakku. Ayah meninggalkanku dan Mama untuk selamanya. Yang paling membikin hatiku pedih, ajal menjemput Ayah secara tiba-tiba, jauh dari kewajaran. Kurasa kenyataan pahit tersebut takkan pernah dapat kuterima hingga kini aku beranjak dewasa.

***

Dini hari tanggal 13 Oktober 2002 aku tersentak terbangun dari tidur lelapku, karena kudengar pekikan histeris Mama. Aku segera beranjak dari tempat tidur, menuruni tangga menuju Mama yang sedang terisak menangis di ruang tamu. Kulihat di hadapanku Mama sedang berbicara terbata-bata di depan gagang telepon yang digenggamnya, dari suara berat khasnya dapat kupastikan bahwa orang di seberang sana yang berbicara dengan Mama ialah Om Beno, adik Ayah. Sungguh, aku baru pertama kali menyaksikan Mama sesedih itu, linangan air mata begitu deras bergulir dari pelupuk matanya. Batinku membuncah, tidak tahan lagi. Spontan aku memeluk Mama, ikut terisak dalam pelukannya.

Ayah telah pergi bersama teror bom yang meluluhlantakkan Legian, Kuta Bali sekitar jam sebelas malam tadi. Om Beno mendapat kabar dari kepolisian setempat yang berhasil memperoleh identitas salah satu dari ratusan korban tewas, korban itu tak lain adalah Yonathan Prabowo, Ayahku. Sontak aku menyesali mengapa Ayah harus ditugaskan perusahaan tempat beliau bekerja untuk menghadiri Annual Meeting di Bali pada hari itu? Mama tak berdaya menyembunyikan kesedihannya, bahkan beliau sempat tak sadarkan diri. Aku masih terlalu kecil, tidak mampu berbuat apa pun. Alhasil Om Beno yang mengurus semuanya, hingga jenazah Ayah diterbangkan ke Bandung siang harinya. Keluarga kami termasuk aku memutuskan untuk tidak melihat jenazah Ayah yang sudah dimasukkan ke dalam peti. Kami tak kuasa menyaksikan luka bakar yang menggerogoti tubuh Ayah, membayangkan pun enggan. Kami telah memasrahkan semuanya kepada Tuhan.

Aku yang saat itu masih duduk di bangku kelas 2 SD belum tahu menahu mengenai teror jamaah Islamiyah yang mendalangi tragedi bom Bali I. Yang terpikir dalam pikiran masa kecilku ialah betapa kejamnya orang Islam yang tega membunuh orang-orang tak berdosa yang kebetulan sedang berada di Legian, bahkan mungkin saja yang beragama Islam pun menjadi korban jiwa. Alangkah barbarnya orang-orang yang dijuluki teroris tersebut. Semenjak peristiwa getir itu respekku terhadap Islam lenyap. Toleransi keberagaman suku, agama dan ras yang selalu diumbar pejabat mau pun para pemuka agama negeri ini hanyalah omong kosong, tak lebih dari sekadar kalimat berbau politis.

Kini, di selasar koridor SMA, setelah kudengar pernyataan Pak Gojali kadar benciku makin bertambah terhadap Islam yang selalu saja memerangi penganut agama minoritas negeri ini.

***

Malam Natal 25 Desember 2012. Natal ke-11 tanpa kehadiran Ayah. Aku berdua Mama berangkat ke Gereja Katedral St. Petrus Jl. Merdeka Bandung untuk menghadiri Misa Natal 2012. Segala doa kupanjatkan, aku berdoa semoga lulus UN dengan nilai baik serta lolos SNMPTN hingga dapat meneruskan studiku ke Universitas yang kuidamkan. Lalu aku berdoa semoga Mama dan aku bisa hidup damai walau tanpa kehadiran sosok Ayah, mendiang Yonathan Prabowo. Sosok Ayah yang tak tergantikan, yang senantiasa berada di sampingku walau raganya entah di alam mana. Semoga kini Ayah berada di tempat yang dimuliakan-Nya. Amin.

Aku menoleh, tampak Mama berdoa dengan khusyuk. Kusaksikan linangan air mata mulai bergulir di pelupuk matanya yang sayu. Tepancar dari wajah Mama pancaran ketabahan. Ketabahan Mama yang telah membesarkan putranya hingga kini aku berusia 17 tahun, usia yang menandai sebagai gerbang kedewasaan seseorang. Sepeninggal ayah sepuluh tahun terakhir ini kurasakan kasih sayang Mama begitu lekat. Maka aku pun ingin segera membahagiakannya kelak. Sepeninggal Ayah, siapa lagi orang yang dapat membahagiakan Mama selain aku putra satu-satunya? Segera aku memeluk erat Mama, mencium pipi di wajahnya yang mulai menua namun pesona kecantikannya tak memudar sedikit pun. Mama pun menyambut pelukanku. Sungguh, malam Natal ini benar-benar kudus bagi kami berdua.

Setelah rangkaian acara Misa selesai kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah untuk segera beristirahat, sehingga esok hari kondisi kami dalam keadaan bugar untuk bertetirah ke rumah sanak saudara, menyantap hidangan khas Natal, kue-kue nan lezat, dan berebut kado Natal. Eh, apakah jika usia seseorang sudah menginjak 17 tahun tidak lagi mendapat kado Natal dari keluarganya? Kuharap masih.

Aku dan Mama berjalan berdampingan, menuju area parkir Gereja Katedral tempat mobil tua kami diparkir. Namun tiba-tiba mataku melihat orang yang sangat kukenal berdiri di dekat mobil tua kami, remaja perempuan sebaya denganku. Perempuan yang begitu lekat dalam pikiranku hampir setiap saat, perempuan yang selalu berhasil membikin otakku seolah mendadak alzheimer, setelahnya yang kuingat hanya ia seorang. Sosok perempuan yang kutaksir.

“Lho, Farida?” seruku singkat.

Perempuan itu menoleh ke arahku. Ia tersenyum manis, oh bukan, manis sekali hingga hatiku meleleh seketika. Dengan hijab merah marun serta pakaian yang menutupi tubuhnya sangat kontras dengan lokasi dan suasana malam ini yang bernuansa Nasrani. Farida berjalan ke arahku dan Mama.

“Selamat Natal ya, Daniel. Semoga Natal tahun ini mendatangkan berkah untuk kamu dan Mama kamu,” ucapnya dengan tulus. Lalu ia menyalami Mama dengan takzim, Mama menyambut hangat kehadiran Farida malam itu. Lalu mereka terlibat perbincangan khas sesama perempuan.

Aku masih tak percaya. Salah satu teman sekelasku yang baru tadi siang diperingatkan oleh guru PAI-nya untuk tidak mengucapkan selamat Natal, namun Farida sekonyong-konyong datang menyambutku di sini, Gereja Katedral St. Petrus.

“Eee.. Farida. Kamu tidak masuk pada pelajaran PAI tadi siang ya?” tanyaku gugup.

Farida tersenyum lebar, lalu berkata, “Oh, aku tahu maksudmu, Dan. Hmm, sudahlah aku tak sepaham dengan Pak Gojali. Tidakkah perdamaian itu indah? Lalu, bukankah kita semua adalah makhluk bernama manusia yang sama-sama tidak berdaya di hadapan Tuhan?” untaian kalimat dari lisan Farida begitu membuat diriku terhenyak.

“Sungguh?” aku masih tak percaya kejadian malam ini. Memori tentang bengisnya teroris bom Bali I yang telah membunuh jasad Ayah masih berkelebatan di atas kepalaku. Namun perlahan memori pahit tersebut luluh oleh sosok yang menentramkan jiwa ini.

“Daniel, Islam tidak sekejam yang kamu kira selama ini kok. Sesungguhnya agamaku cinta perdamaian.” jelas Farida. “Oh ya, ini untukmu. Lumayan, kue tar buatanku sendiri lho, hehe. Semoga kamu dan Mamamu sudi menerimanya, dan sudi melahapnya tentu saja,” kata Farida berkelakar sembari menyodorkan bungkusan besar yang sengaja ia bawa seorang diri ke Gereja ini. Oh, kamu benar-benar mengubah pandanganku tentang Islam, Farida.

Aku dan Mama melongo. Kami berdua berpandang-pandangan, lalu tersenyum penuh kedamaian. Sungguh, Natal tahun ini menjadi titik balik bagiku untuk tidak lagi membenci Islam. Betapa sucinya suatu agama ternyata telah dinodai begitu saja oleh orang yang sangat membenci agama lain, namun nyatanya dia malah menghancurkan agamanya tersebut. Tapi sekarang noda itu perlahan terhapus olehmu, perempuan yang kusayangi. Terima kasih, Farida.

Setelah itu aku dan Mama bermaksud mengajak Farida bertandang ke rumah, namun ia menolak mengingat malam sudah sedemikian larut. Maka kami memutuskan untuk mengantarnya pulang.


Bogor, 25 Desember 2012

6 Komentar

  1. Masih jaman guru ngedoktrin kaya gitu.. salam kenal.

    BalasHapus
  2. @opik: iya, semoga hanya ada di fiksi ini aja sih :D
    salam kenal balik!

    BalasHapus
  3. Apakah tulisan di atas berdasarkan kisah nyata ?

    BalasHapus
  4. @mbak ely: tentu saja fiktif mbak el :blush:
    tapi tidak tertutup kemungkinan peristiwa yang aku fisikan sangat dekat dengan kehidupan sekitar kita :)

    BalasHapus
  5. gw sempet berkaca-kaca baca kehidupan tokoh dan ibunya. bagus Cep.. :)

    BalasHapus
  6. @mas dani: waah, masa? hehe, terima kasih banyak apresiasinya :)

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama