Sepulang kuliah seperti biasa saya membeli kudapan dan semacamnya, begitu pun dengan malam minggu tadi. Kali ini cakwe yang jadi destinasi perut keroncongan saya. Empat puluh menit perjalanan dari Citeureup, tibalah saya di persimpangan Pomad Tanah Baru, Bogor yang menjadi tempat mangkalnya si mas-mas cakwe itu. Motor saya parkir tepat di depan gerobaknya, lalu saya menghampiri si mas.
"Mas, beli 10 ya! Eh, masih ada kan?" tandas saya.
Si mas masih sibuk dengan penggorengan, kemudian dia bilang, "Hmm, masih toh mas, tapi tunggu bapak ini dulu ya. Lagian, masih ada juga yang mesen sih, 20 biji. Mau sabar nunggu ndak mas?" ujarnya dengan aksen jawa yang kentara.
Saya berpikir sejenak, "Oh, oke, gapapa deh."
Ternyata lama juga menunggu sekitar 40 cakwe yang digoreng itu. Lima belas menit saya menunggu antrean pesanan cakwe itu. Sebelumnya saya pikir tidak akan terlalu lama, karena cakwe itu termasuk makanan yang cenderung mudah untuk matang di penggorengan. Tapi tak apalah, wong saya tidak ada acara malam mingguan, "teu ngaruh". Lebih baik saya mengalihkan perhatian terhadap blackberry, membaca linimasa.
Beberapa saat kemudian ada pembeli lain, perempuan paruh baya. Dia pun memesan, "Lima belas biji ya mas!" serunya.
"Wah, kayaknya lama bu, ini masih ada yang ngantre. Bapak ini mesen 20, terus si mas yang ini mesen 10. Lagian ada yang mesen juga 20 biji, jadi ibu musti nunggu 50 lagi nih," jelas si mas cakwe itu.
"Hah, udah, yang mesen mah dilewat aja mas, yang ada di sini aja dulu, yang orangnya rela nunggu," si ibu menawar.
"Dilewat? Ndak bisa gitu dong bu, kan yang mesen sama-sama beli juga," kata si mas cakwe.
Raut muka si ibu berubah, tampak kesal. Lalu dia berkata lagi, "Yaah, si mas, masih kaku aje. Udah, gak bakal liat ini kan yang mesennya juga toh."
"Hmm, ndak bisa bu, entar kalo orang ntu tiba-tiba ke sini sekarang gimana? Kasian, masa yang mesen ntu musti nunggu lagi," tegas si mas cakwe.
Si ibu makin kesal, tapi akhirnya dia terpaksa mengerti, kemudian dia berdiri menunggu sembari melipat kedua tangannya. Namun emosinya luluh ketika pembeli 20 cakwe yang tadi dibicarakan ternyata sudah tiba di depan gerobak, lalu mengambil pesanannya.
Hati saya tersentuh kala menyaksikan percakapan itu. Si mas cakwe telah melaksanakan tugasnya dengan baik, melayani konsumen dengan setara. Bagaimana pun, konsumen yang memesan terlebih dahulu lah yang harus dilayani lebih dulu juga oleh si mas cakwe. Ini merupakan salah satu peristiwa sederhana tentang kepercayaan. Hal sederhana tentang betapa pentingnya menjaga amanat orang lain, sekali pun orang lain itu tidak menyaksikan tindakan kita secara langsung.
Hei pejabat, Bupati, Ketua PSSI, Anggota Dewan Yang Terhormat, koruptor! Sungguh hina diri kalian jika tak malu sedikit pun dengan tindakan terpuji salah satu dari banyak sekali rakyat jelata di negeri ini yang setia menjaga amanat konsumennya? Ingat, konsumen kalian adalah kami, rakyat. Rakyat jelata yang memercayakan nasibnya kepada kalian. Bersediakah kalian untuk segera sadar dari buaian kemewahan, gelimang harta, untuk kembali menapakkan sepasang kaki dan hati kalian terhadap tanah air ini?
"Mas, beli 10 ya! Eh, masih ada kan?" tandas saya.
Si mas masih sibuk dengan penggorengan, kemudian dia bilang, "Hmm, masih toh mas, tapi tunggu bapak ini dulu ya. Lagian, masih ada juga yang mesen sih, 20 biji. Mau sabar nunggu ndak mas?" ujarnya dengan aksen jawa yang kentara.
Saya berpikir sejenak, "Oh, oke, gapapa deh."
Ternyata lama juga menunggu sekitar 40 cakwe yang digoreng itu. Lima belas menit saya menunggu antrean pesanan cakwe itu. Sebelumnya saya pikir tidak akan terlalu lama, karena cakwe itu termasuk makanan yang cenderung mudah untuk matang di penggorengan. Tapi tak apalah, wong saya tidak ada acara malam mingguan, "teu ngaruh". Lebih baik saya mengalihkan perhatian terhadap blackberry, membaca linimasa.
Beberapa saat kemudian ada pembeli lain, perempuan paruh baya. Dia pun memesan, "Lima belas biji ya mas!" serunya.
"Wah, kayaknya lama bu, ini masih ada yang ngantre. Bapak ini mesen 20, terus si mas yang ini mesen 10. Lagian ada yang mesen juga 20 biji, jadi ibu musti nunggu 50 lagi nih," jelas si mas cakwe itu.
"Hah, udah, yang mesen mah dilewat aja mas, yang ada di sini aja dulu, yang orangnya rela nunggu," si ibu menawar.
"Dilewat? Ndak bisa gitu dong bu, kan yang mesen sama-sama beli juga," kata si mas cakwe.
Raut muka si ibu berubah, tampak kesal. Lalu dia berkata lagi, "Yaah, si mas, masih kaku aje. Udah, gak bakal liat ini kan yang mesennya juga toh."
"Hmm, ndak bisa bu, entar kalo orang ntu tiba-tiba ke sini sekarang gimana? Kasian, masa yang mesen ntu musti nunggu lagi," tegas si mas cakwe.
Si ibu makin kesal, tapi akhirnya dia terpaksa mengerti, kemudian dia berdiri menunggu sembari melipat kedua tangannya. Namun emosinya luluh ketika pembeli 20 cakwe yang tadi dibicarakan ternyata sudah tiba di depan gerobak, lalu mengambil pesanannya.
Hati saya tersentuh kala menyaksikan percakapan itu. Si mas cakwe telah melaksanakan tugasnya dengan baik, melayani konsumen dengan setara. Bagaimana pun, konsumen yang memesan terlebih dahulu lah yang harus dilayani lebih dulu juga oleh si mas cakwe. Ini merupakan salah satu peristiwa sederhana tentang kepercayaan. Hal sederhana tentang betapa pentingnya menjaga amanat orang lain, sekali pun orang lain itu tidak menyaksikan tindakan kita secara langsung.
Hei pejabat, Bupati, Ketua PSSI, Anggota Dewan Yang Terhormat, koruptor! Sungguh hina diri kalian jika tak malu sedikit pun dengan tindakan terpuji salah satu dari banyak sekali rakyat jelata di negeri ini yang setia menjaga amanat konsumennya? Ingat, konsumen kalian adalah kami, rakyat. Rakyat jelata yang memercayakan nasibnya kepada kalian. Bersediakah kalian untuk segera sadar dari buaian kemewahan, gelimang harta, untuk kembali menapakkan sepasang kaki dan hati kalian terhadap tanah air ini?
wow ..... salut sama penjual cakwe itu ya, prinsipnya bagus, kalau model begitu jualannya pasti pelanggannya juga banyak, dan tetap
BalasHapusah Cepy, capek ngomongin pejabat pejabat tinggi di tanah air, sdh pada muka tembok mereka , nggak mempan
bener.. akhirnya aku nemu juga orang baek di indonesia :-|
BalasHapushhahaha, iya ya mbak... gak bakal bahas pejabat lagi deh, bikin mumet hehe :D
Cape hati ya Cep mikirin pejabat kita. Orang-orang amanat kek penjual cakwe itu banyak, cuman sayang dikit yang bisa jadi pejabat...
BalasHapusiya mas dani, bikin cepet botak kepala :-E
BalasHapus