Sebuah kabar menghantamku dini hari tadi selain breaking news CNN tentang luluh lantaknya gedung World Trade Center di Manhattan. Kabar yang membikin hatiku remuk. Bagaimana perasaanmu kala mendengar kabar bahwa ayahandamu pergi untuk selamanya? Yang kurasakan saat ini, senyum pun tak mampu kusunggingkan sepanjang hari, nafsu makan lenyap entah ke mana, orang sekelilingku seolah patung bagiku.
Barangkali hanya aku anak dari ayahku yang memilukan kematiannya. Kedua kakakku hanya bertengkar saja polahnya sejak malam tadi. Aku yakin sejak pertama kali bertemu di muka bumi ini mereka berdua sudah memproklamirkan diri mereka sebagai musuh abadi sepanjang hidupnya.
Aku Sandra, anak perempuan terakhir dari keluarga Hartanto. Bangku kuliah terpaksa kutanggalkan demi menopang ekonomi keluarga yang sangat mencekik, aku bekerja sebagai kasir salah satu swalayan di sudut kotaku. Memang, penghasilan yang kuperoleh takkan pernah mungkin menutupi utang keluarga kami. Utang? Baiklah, akan kuceritakan.
Kami hidup berempat. Ibuku sudah lebih dulu pergi, meninggalkan kami ketika kakak pertamaku terjerat kasus penyalahgunaan narkoba. Beliau terserang serangan jantung koroner. Aku tak yakin ada manusia lain seperti ibu yang tetap tabah dihantam tekanan bertubi-tubi sebelum kematiannya. Arisan yang ia gagas empat tahun silam bersama kolega-koleganya menyisakan perih dalam keluargaku. Sistem kekeluargaan dalam arisan hanyalah kedok belaka, selain itu tak lebih dari sekadar penipuan. Setumpuk rupiah digelontorkan ibu untuk menutupi tunggakan utang arisan teman-temannya. Sumber setumpuk rupiah itu tentu dari hasil mengutang, jeratan rentenir tak kuasa kami lepaskan, alih-alih lunas, utang keluarga semakin mengungkung seiring bunga rentenir yang makin menggelembung.
Kedua kakakku pria, kakak sulungku biasa dipanggil Roy, umurnya sudah sangat ideal untuk berkeluarga, namun kurasa Roy tak berhasrat sedikit pun terhadap hal satu itu. Hidupnya bagai angin, berembus tak tentu arah. Entah apa parameter hidup dirinya hingga ia tega membikin malu martabat keluarga saat dia terjerat narkoba yang secara tak langsung berhasil merenggut nyawa ibuku. Sekarang Roy sudah bebas dari jeruji, psikotropika tidak pernah dia sentuh lagi. Hari-hari Roy saat ini dia habiskan sesuai tabiat kegemarannya, berkelana entah ke mana.
Kakakku yang kedua ialah saudara kembar priaku, lahir selang dua menit lebih dulu dariku, Andra namanya. Dia begitu berbeda denganku, dia pemberontak, berbicara tak melihat lebih dulu dengan siapa dia berbicara, serampangan. Hal lumrah jika menyaksikan saudara kembarku bertengkar kala bertemu dengan Roy, kupikir mereka rival sparing sepadan. Namun sebagaimana saudara kembar ikatan batin kami sangat erat, aku dan Andra tidak pernah berselisih, pribadinya sangatlah melindungiku, termasuk melindungiku dari kegilaan Roy.
Sebebal apa pun mereka sejujurnya aku sangat menyayangi kedua kakak kandungku. Bagiku, saudara sedarah adalah sahabat sekaligus tour guide di dunia ini. Tanpa mereka aku hanyalah anak perempuan lugu tanpa pemandu yang akan tersesat jikalau pemandu itu meninggalkanku sebatang kara.
Tapi manusia mana yang tahan menyaksikan kedua saudara kita bertengkar, adu mulut, hingga kursi kayu dan beberapa gelas rela menjadi korban tiap harinya?
Dahulu ayah terbilang sukses, sebagai pengusaha properti beliau kerap dipercaya mengemban proyek pemerintah, terutama proyek jalan raya dan jalan tol. Keterpurukan ekonomi Indonesia pada 98 meluluhlantakkan kejayaan bisnis ayahku. Usaha ayah kembali ke nol, bahkan minus, hingga BPPN merampas secara halus puing harta kami. Utang arisan ibuku yang sudah mengungkung kami setahun sebelumnya lalu terakumulasikan dengan utang mahabesar ayahku kian menjerat kehidupan kami.
Hal itu pula yang mengakibatkan ayah menderita stroke selang beberapa hari setelah harta kami diambil alih BPPN. Walaupun ayah masih hidup, tak memungkinkan bagi kami untuk berkomunikasi, hanya anggukan samar serta linangan air matalah respons yang dapat ayah berikan kepadaku. Sepanjang dua tahun selang-selang infus akrab menemani hidupnya hingga dini hari tadi ia menutup mata. Dari mana uang untuk membeli ribuan botol infus itu? Tentu, utang.
Rasanya aku ingin membenamkan perlahan belati ke jantungku, aku tak bisa seperti ibu yang tabah menghadapi tekanan yang kian mendera. Beruntung aku punya Andra. Tanpa Andra sepertinya saat ini aku akan berada di rumah sakit jiwa yang menderita stress akut. Hampir tiap malam ia menyempatkan berbicara denganku, setia mendengarkan keluhan hidupku sepulang ia bekerja. Betul, tidak seperti Roy yang hidup semaunya, Andra mempergunakan titel sarjananya dengan baik. Andra bekerja sebagai public relation di sebuah perusahaan ritel terkemuka yang terbebas dari jeratan krisis 98 di Jakarta. Andra-lah yang menggantikan peran ayah sebagai pemberi nafkah keluarga kami.
Siang ini orang-orang mulai berdatangan ke rumah untuk melayat ayah, mereka adalah teman, kerabat, relasi ayah ketika masih menjadi pengusaha properti, bahkan kulihat hadir pula mantan menteri pekerjaan umum pada era orde baru. Andra menyambut dengan takzim mantan orang terdekat ayah tersebut, tampak pak menteri itu menepuk-nepuk bahu Andra.
Mataku berkeliaran di sekeliling mencari Roy, tak kutemukan sosok gila itu. Sebegitu gilanyakah dia sampai-sampai kematian ayahnya pun dia tak tahu? Ataukah dia tak peduli? Relung hati kecilku meyakini bahwa Roy masih mempunyai nurani, walau sepercik.
“Bangsat! Apa yang kau curi itu, bajingan!” pekikan Andra memecah suasana duka yang hening di rumah kami, diikuti suara hantaman bertubi-tubi.
Lagi-lagi! Sejenak benakku tersentak, kusaksikan dua pria yang kusayangi bergumul tepat di hadapan jenazah ayah. Aku menjerit.
Tampak Roy berusaha menangkis pukulan bertubi-tubi dari adik kandungnya, sia-sia. Dalam keadaan terhuyung dia masih kuasa memegang erat benda yang dicurinya. Akta rumah. Satu-satunya puing harta yang tersisa dari kerajaan bisnis ayah, selain itu, setumpuk utang yang berserakan di mana-mana.
“Roy, Andra, berhenti kataku! Di mana urat malu kalian letakkan di tengah suasana sendu keluarga kita? Ayah sudah pergi, tak bisakah kalian berdua membuat batin beliau tenang menghadap Penciptanya?” tangisku meledak. Namun mereka tak bergeming, baku hantam terus mereka lancarkan satu sama lain., beberapa pelayat ayahku berusaha melerai.
Batinku makin bergejolak, baru sekarang kurasakan pedih yang teramat ini, aku tak kuasa lagi bertabah-tabah terhadap siksa neraka dunia. “Aku muak dengan hidupku, kalian buatku jengah. Lebih baik aku mati, menyusul mereka,” pekikku, lirih.
Kuambil belati yang selalu kusisipkan tiap saat di saku celana belakang untuk berjaga dari kelamnya malam kala aku harus mendapat shift malam. Kupejamkan mata, kuambil ancang-ancang dari ambang tubuhku, perlahan kubenamkan mata belati dengan telapak tangan kananku, ke jantungku. Napasku terhenti, lidahku kelu bibir pun membisu, darah segar kurasakan mengalir deras dari gores hunjaman belatiku. Setelah itu gelap gulita, hanya terdengar pekikan manusia-manusia yang melayat jenazah ayah, serta laungan tangis dua pria yang teramat kusayangi.
Barangkali hanya aku anak dari ayahku yang memilukan kematiannya. Kedua kakakku hanya bertengkar saja polahnya sejak malam tadi. Aku yakin sejak pertama kali bertemu di muka bumi ini mereka berdua sudah memproklamirkan diri mereka sebagai musuh abadi sepanjang hidupnya.
Aku Sandra, anak perempuan terakhir dari keluarga Hartanto. Bangku kuliah terpaksa kutanggalkan demi menopang ekonomi keluarga yang sangat mencekik, aku bekerja sebagai kasir salah satu swalayan di sudut kotaku. Memang, penghasilan yang kuperoleh takkan pernah mungkin menutupi utang keluarga kami. Utang? Baiklah, akan kuceritakan.
***
Kami hidup berempat. Ibuku sudah lebih dulu pergi, meninggalkan kami ketika kakak pertamaku terjerat kasus penyalahgunaan narkoba. Beliau terserang serangan jantung koroner. Aku tak yakin ada manusia lain seperti ibu yang tetap tabah dihantam tekanan bertubi-tubi sebelum kematiannya. Arisan yang ia gagas empat tahun silam bersama kolega-koleganya menyisakan perih dalam keluargaku. Sistem kekeluargaan dalam arisan hanyalah kedok belaka, selain itu tak lebih dari sekadar penipuan. Setumpuk rupiah digelontorkan ibu untuk menutupi tunggakan utang arisan teman-temannya. Sumber setumpuk rupiah itu tentu dari hasil mengutang, jeratan rentenir tak kuasa kami lepaskan, alih-alih lunas, utang keluarga semakin mengungkung seiring bunga rentenir yang makin menggelembung.
Kedua kakakku pria, kakak sulungku biasa dipanggil Roy, umurnya sudah sangat ideal untuk berkeluarga, namun kurasa Roy tak berhasrat sedikit pun terhadap hal satu itu. Hidupnya bagai angin, berembus tak tentu arah. Entah apa parameter hidup dirinya hingga ia tega membikin malu martabat keluarga saat dia terjerat narkoba yang secara tak langsung berhasil merenggut nyawa ibuku. Sekarang Roy sudah bebas dari jeruji, psikotropika tidak pernah dia sentuh lagi. Hari-hari Roy saat ini dia habiskan sesuai tabiat kegemarannya, berkelana entah ke mana.
Kakakku yang kedua ialah saudara kembar priaku, lahir selang dua menit lebih dulu dariku, Andra namanya. Dia begitu berbeda denganku, dia pemberontak, berbicara tak melihat lebih dulu dengan siapa dia berbicara, serampangan. Hal lumrah jika menyaksikan saudara kembarku bertengkar kala bertemu dengan Roy, kupikir mereka rival sparing sepadan. Namun sebagaimana saudara kembar ikatan batin kami sangat erat, aku dan Andra tidak pernah berselisih, pribadinya sangatlah melindungiku, termasuk melindungiku dari kegilaan Roy.
Sebebal apa pun mereka sejujurnya aku sangat menyayangi kedua kakak kandungku. Bagiku, saudara sedarah adalah sahabat sekaligus tour guide di dunia ini. Tanpa mereka aku hanyalah anak perempuan lugu tanpa pemandu yang akan tersesat jikalau pemandu itu meninggalkanku sebatang kara.
Tapi manusia mana yang tahan menyaksikan kedua saudara kita bertengkar, adu mulut, hingga kursi kayu dan beberapa gelas rela menjadi korban tiap harinya?
***
Dahulu ayah terbilang sukses, sebagai pengusaha properti beliau kerap dipercaya mengemban proyek pemerintah, terutama proyek jalan raya dan jalan tol. Keterpurukan ekonomi Indonesia pada 98 meluluhlantakkan kejayaan bisnis ayahku. Usaha ayah kembali ke nol, bahkan minus, hingga BPPN merampas secara halus puing harta kami. Utang arisan ibuku yang sudah mengungkung kami setahun sebelumnya lalu terakumulasikan dengan utang mahabesar ayahku kian menjerat kehidupan kami.
Hal itu pula yang mengakibatkan ayah menderita stroke selang beberapa hari setelah harta kami diambil alih BPPN. Walaupun ayah masih hidup, tak memungkinkan bagi kami untuk berkomunikasi, hanya anggukan samar serta linangan air matalah respons yang dapat ayah berikan kepadaku. Sepanjang dua tahun selang-selang infus akrab menemani hidupnya hingga dini hari tadi ia menutup mata. Dari mana uang untuk membeli ribuan botol infus itu? Tentu, utang.
Rasanya aku ingin membenamkan perlahan belati ke jantungku, aku tak bisa seperti ibu yang tabah menghadapi tekanan yang kian mendera. Beruntung aku punya Andra. Tanpa Andra sepertinya saat ini aku akan berada di rumah sakit jiwa yang menderita stress akut. Hampir tiap malam ia menyempatkan berbicara denganku, setia mendengarkan keluhan hidupku sepulang ia bekerja. Betul, tidak seperti Roy yang hidup semaunya, Andra mempergunakan titel sarjananya dengan baik. Andra bekerja sebagai public relation di sebuah perusahaan ritel terkemuka yang terbebas dari jeratan krisis 98 di Jakarta. Andra-lah yang menggantikan peran ayah sebagai pemberi nafkah keluarga kami.
***
Siang ini orang-orang mulai berdatangan ke rumah untuk melayat ayah, mereka adalah teman, kerabat, relasi ayah ketika masih menjadi pengusaha properti, bahkan kulihat hadir pula mantan menteri pekerjaan umum pada era orde baru. Andra menyambut dengan takzim mantan orang terdekat ayah tersebut, tampak pak menteri itu menepuk-nepuk bahu Andra.
Mataku berkeliaran di sekeliling mencari Roy, tak kutemukan sosok gila itu. Sebegitu gilanyakah dia sampai-sampai kematian ayahnya pun dia tak tahu? Ataukah dia tak peduli? Relung hati kecilku meyakini bahwa Roy masih mempunyai nurani, walau sepercik.
“Bangsat! Apa yang kau curi itu, bajingan!” pekikan Andra memecah suasana duka yang hening di rumah kami, diikuti suara hantaman bertubi-tubi.
Lagi-lagi! Sejenak benakku tersentak, kusaksikan dua pria yang kusayangi bergumul tepat di hadapan jenazah ayah. Aku menjerit.
Tampak Roy berusaha menangkis pukulan bertubi-tubi dari adik kandungnya, sia-sia. Dalam keadaan terhuyung dia masih kuasa memegang erat benda yang dicurinya. Akta rumah. Satu-satunya puing harta yang tersisa dari kerajaan bisnis ayah, selain itu, setumpuk utang yang berserakan di mana-mana.
“Roy, Andra, berhenti kataku! Di mana urat malu kalian letakkan di tengah suasana sendu keluarga kita? Ayah sudah pergi, tak bisakah kalian berdua membuat batin beliau tenang menghadap Penciptanya?” tangisku meledak. Namun mereka tak bergeming, baku hantam terus mereka lancarkan satu sama lain., beberapa pelayat ayahku berusaha melerai.
Batinku makin bergejolak, baru sekarang kurasakan pedih yang teramat ini, aku tak kuasa lagi bertabah-tabah terhadap siksa neraka dunia. “Aku muak dengan hidupku, kalian buatku jengah. Lebih baik aku mati, menyusul mereka,” pekikku, lirih.
Kuambil belati yang selalu kusisipkan tiap saat di saku celana belakang untuk berjaga dari kelamnya malam kala aku harus mendapat shift malam. Kupejamkan mata, kuambil ancang-ancang dari ambang tubuhku, perlahan kubenamkan mata belati dengan telapak tangan kananku, ke jantungku. Napasku terhenti, lidahku kelu bibir pun membisu, darah segar kurasakan mengalir deras dari gores hunjaman belatiku. Setelah itu gelap gulita, hanya terdengar pekikan manusia-manusia yang melayat jenazah ayah, serta laungan tangis dua pria yang teramat kusayangi.
Tags:
fiksi
hore akhirnya gue baca :nyu:
BalasHapusgue slalu suka akhir yg gak hepi ending :))
i love your words bahasanya bagus :D
tapi tapi entah kenapa ada kata2 yg kurang di beberapa kalimat coba cek lagi ;)
Wiiih, makasih kakak dea :p
HapusOkay. . . I'll try better (•̀_•́)ง
ini fiksi atau berdasar cerita nyata Cepy ?
BalasHapus@mbak ely: hehehe, ini fiksi mbak, khayalan :D
HapusLagi nyoba nyoba nulis fiksi nih hehe
Hai Cepy .. apa kabar ? kapan ada tulisna baru nih ?
BalasHapusHuhu, pengen nulis. Tapi internet (speedy) lagi rusak nih mbak, belum diperbaiki :(
HapusTerus, seminggu ke depan ini aku sibuk (sok sibuk) UAS :(
Ciyee, ada yang kangen tulisan aku hihi :3
meninggal apa gak nih?
BalasHapussekedar saran, klimakns nya kurang gereget.
semangat menulis!!!! :)
@Anonymous: hmm, oke oke. terima kasih sarannya :)
BalasHapus