"Cinta itu bukan sekadar kata-kata, tapi perbuatan," kata Bram.
"Really? Tapi aku gak suka dicuekin, aku ingin diperhatiin juga kan," kata Joanna.
"Kamu pilih mana, dicintai atau dikhianati?" Bram melihat-lihat jam tangan di etalase toko.
Joanna menonjok Bram, pelan. "Bayi juga tahu kali Bram, kamu ada-ada aja."
"Kalo tahu, terus kenapa gak berusaha ngerti?" mata Bram masih tertuju pada deretan jam tangan.
Joanna menonjok Bram, lagi. Tapi kali ini meleset.
"Tau gak Jo, cewek itu emang susah ya. Udah disayang-sayang, malah gamau. Risih katanya. Dicuekin, apalagi," Bram membuka choki-choki dengan giginya.
"Woy, kapan sih kamu bakal ganti choki-chokimu itu dengan makanan yang dewasaan dikit?" Joanna berdecak.
Bram diam saja. Lagi-lagi asyik dengan perhatiannya pada deretan produk, kali ini sepatu.
"Terus aku mesti gimana dong, diem aja gitu? Diem aja padahal hati gondok dicuekin mulu?" kata Joanna.
Choki-choki Bram habis. Kini Bram lebih fokus memperhatikan deretan sepatu. "Bener sekali nona Joanna. Tuh tahu. Emang pinter anaknya mama Devi." Bram nyengir.
"Heh, lama-lama gue tampol nih. Seriusan ndoro!" Joanna gemas.
"If a man make a girl laugh, she likes you. But if a man make her cry, she loves you," mimik muka Bram tetep lempeng.
"Maksudnya? Gak ngerti.." Joanna bengong.
"Tau ah. Nilai TOEFL sih gede, tapi denger kalimat tadi gak ngeh."
"Hahaha, aku gak pandai berfilosofi ndoro Bram, gak ngerti begituan," Joanna melet-melet.
Bram diam sejenak. "Aku yakin cowok yang cuma bikin kamu ketawa doang gak bakalan bikin kamu mencintai dia. Emang sih kamu seneng, tapi sesaat. Tapi cowok yang pernah bikin kamu gondok, bahkan bikin kamu nangis, aku yakin kamu bakal cinta banget sama dia," kali ini Bram serius.
"Kamu ada-ada aja. Cewek mana sih yang mau disakitin," kata Joanna.
"Jo, cinta itu gak cuma seneng-seneng doang. Cinta itu berarti kamu juga harus mencintai kenyataan pahit sekalipun. Aku yakin, walau seringkali pahit, cinta yang real gak bakal bisa berubah. Karena kepahitan itu yang bikin cinta jadi manis," kali ini Bram tersenyum.
Joanna tersenyum, manis sekali. Tonjokan mendarat sekali lagi ke punggung Bram. "Kok kamu tahu banget semuanya sih. Aku gak bakal mau jauh-jauh dari kamu deh," Joanna memeluk Bram.
Muka Bram tetep lempeng. "Aku juga.."
Tiba-tiba laki-laki tampan tinggi kekar menghampiri Bram dan Joanna. Rio, pacar Joanna.
"Jo, yuk!" Rio langsung menggamit tangan Joanna. Ia tersenyum kepada Bram, tipis.
Bram hanya nyengir.
"Makasih ya Bram, aku pergi dulu," Joanna tersenyum.
Bram mengangguk.
Sendirian ia menyaksikan keduanya perlahan menjauh. Bram mengalihkan pandangannya sambil berjalan tenang. Ia fokus kembali memperhatikan isi etalase toko, kali ini toko perhiasan.
"Really? Tapi aku gak suka dicuekin, aku ingin diperhatiin juga kan," kata Joanna.
"Kamu pilih mana, dicintai atau dikhianati?" Bram melihat-lihat jam tangan di etalase toko.
Joanna menonjok Bram, pelan. "Bayi juga tahu kali Bram, kamu ada-ada aja."
"Kalo tahu, terus kenapa gak berusaha ngerti?" mata Bram masih tertuju pada deretan jam tangan.
Joanna menonjok Bram, lagi. Tapi kali ini meleset.
"Tau gak Jo, cewek itu emang susah ya. Udah disayang-sayang, malah gamau. Risih katanya. Dicuekin, apalagi," Bram membuka choki-choki dengan giginya.
"Woy, kapan sih kamu bakal ganti choki-chokimu itu dengan makanan yang dewasaan dikit?" Joanna berdecak.
Bram diam saja. Lagi-lagi asyik dengan perhatiannya pada deretan produk, kali ini sepatu.
"Terus aku mesti gimana dong, diem aja gitu? Diem aja padahal hati gondok dicuekin mulu?" kata Joanna.
Choki-choki Bram habis. Kini Bram lebih fokus memperhatikan deretan sepatu. "Bener sekali nona Joanna. Tuh tahu. Emang pinter anaknya mama Devi." Bram nyengir.
"Heh, lama-lama gue tampol nih. Seriusan ndoro!" Joanna gemas.
"If a man make a girl laugh, she likes you. But if a man make her cry, she loves you," mimik muka Bram tetep lempeng.
"Maksudnya? Gak ngerti.." Joanna bengong.
"Tau ah. Nilai TOEFL sih gede, tapi denger kalimat tadi gak ngeh."
"Hahaha, aku gak pandai berfilosofi ndoro Bram, gak ngerti begituan," Joanna melet-melet.
Bram diam sejenak. "Aku yakin cowok yang cuma bikin kamu ketawa doang gak bakalan bikin kamu mencintai dia. Emang sih kamu seneng, tapi sesaat. Tapi cowok yang pernah bikin kamu gondok, bahkan bikin kamu nangis, aku yakin kamu bakal cinta banget sama dia," kali ini Bram serius.
"Kamu ada-ada aja. Cewek mana sih yang mau disakitin," kata Joanna.
"Jo, cinta itu gak cuma seneng-seneng doang. Cinta itu berarti kamu juga harus mencintai kenyataan pahit sekalipun. Aku yakin, walau seringkali pahit, cinta yang real gak bakal bisa berubah. Karena kepahitan itu yang bikin cinta jadi manis," kali ini Bram tersenyum.
Joanna tersenyum, manis sekali. Tonjokan mendarat sekali lagi ke punggung Bram. "Kok kamu tahu banget semuanya sih. Aku gak bakal mau jauh-jauh dari kamu deh," Joanna memeluk Bram.
Muka Bram tetep lempeng. "Aku juga.."
Tiba-tiba laki-laki tampan tinggi kekar menghampiri Bram dan Joanna. Rio, pacar Joanna.
"Jo, yuk!" Rio langsung menggamit tangan Joanna. Ia tersenyum kepada Bram, tipis.
Bram hanya nyengir.
"Makasih ya Bram, aku pergi dulu," Joanna tersenyum.
Bram mengangguk.
Sendirian ia menyaksikan keduanya perlahan menjauh. Bram mengalihkan pandangannya sambil berjalan tenang. Ia fokus kembali memperhatikan isi etalase toko, kali ini toko perhiasan.
Tags:
fiksi
kau punya bakat jadi penulis hebat
BalasHapussalut dik
*pangambung ngapung*
BalasHapushehe, alhamdulilah. pengen lebih banyak nulis lagi kang, baru 3 fiksi mini yang ditulis :D