Hari ini dua puluh satu tahun yang lalu di sebuah rumah sakit Angkatan Darat telah lahir seorang bayi yang tidak diharapkan sebelumnya. Betapa tidak, ibu dari bayi tersebut sudah menjalani KB selama ini. Ibu itu sudah merasa cukup mempunyai satu putra dan tiga putri. Terlebih usianya sudah melewati masa ideal seorang ibu untuk melahirkan. Tetapi Allah SWT. mempunyai rencana lain. Buah hati kelima sekaligus paling bontot itupun lahir, dan.. masih hidup hingga sekarang.
Bayi itu adalah aku. Aku terlahir dengan nama Cepy Agustira Prahadian. Aku hidup di tengah keluarga guru yang sederhana di sudut kabupaten Bandung. Setiap hari aku menjalani masa kecil yang sangat berwarna. Masih terbersit di memori ketika diajak ayah menonton The Lost Word di bioskop, jalan-jalan di trotoar jalanan kota Bandung yang masih asri di hari Minggu, tamasya ke gunung kapur di Cipatat dengan sepupuku, dan digendong ayah ketika mengantuk dalam perjalanan.
Bayi itu adalah aku. Aku terlahir dengan nama Cepy Agustira Prahadian. Aku hidup di tengah keluarga guru yang sederhana di sudut kabupaten Bandung. Setiap hari aku menjalani masa kecil yang sangat berwarna. Masih terbersit di memori ketika diajak ayah menonton The Lost Word di bioskop, jalan-jalan di trotoar jalanan kota Bandung yang masih asri di hari Minggu, tamasya ke gunung kapur di Cipatat dengan sepupuku, dan digendong ayah ketika mengantuk dalam perjalanan.
Masih hangat juga di ingatan ketika TK aku terserang sakit yang cukup parah. Dan akhirnya saat itu namaku diganti menjadi Cepy Hidayaturrahman. Sebabnya, menurut mitos orang-orang zaman dulu, kalau anak mereka terserang sakit yang parah, nama anak mereka harus diganti, segera. Tak apalah, semoga nama ini memang yang paling kompatibel bagi hidupku.
Waktu berlalu dengan pasti layaknya alur sebuah film melankolis, ada bahagia, ada duka, bahkan yang hambar sekalipun. Mau tidak mau semua itu aku jalani, dengan ikhlas. Satu persatu kakak-kakakku mulai berkeluarga, dan meninggalkan rumah keluarga kami. Aku serasa kesepian tanpa mereka. Tidak ada lagi tempat untuk bermanja-manja, tempat untuk berkeluh kesah, dan partner untuk berkelahi dalam berebut makanan.
Tapi kini aku pun tidak tinggal lagi di rumah orangtua. Sekarang rumah itu hanya dihuni mamah dan ayah, kembali seperti saat mereka masih menjadi pengantin baru. Yang berbeda hanya angka, angka usia mereka.
Tidak ada satupun device untuk memutar waktu layaknya mesin waktu Doraemon. Apapun mengalir natural, tergantung kita masing-masing menghadapinya. Ada orang yang menghadapi hidup dengan gembira. Ada orang yang menghadapi hidup dengan frustasi. Ada orang yang menghadapi hidup dengan emosi tiap harinya. Ada orang yang menghadapi hidup dengan bijak. Dan ada pula orang yang menghadapinya dengan setengah hati, hidup segan, mati pun tak mau.
Menurut sebagian orang, usia 20 tahun adalah gerbang usia kedewasaan seseorang. Katanya, ketika sudah melewati usia 20 tahun mau tidak mau seseorang harus lebih dewasa dalam menghadapi problema hidup serta berpikir dengan cermat dahulu sebelum melakukan suatu hal. Well, akan aku ingat-ingat hal ini baik-baik.
Aku berharap, semoga di usia yang semakin berkurang ini aku bisa melihat mamah dan ayah senantiasa diberikan kesehatan lahir dan batin. Aku pikir PRICELESS adalah satu-satunya kata yang paling pas atas jasa-jasa mereka selama ini. Omong kosong ketika seorang anak merasa bahwa ia tidak pernah dikasihi orangtuanya. Betapa laknatnya orang yang merasa seperti itu, tak tahu diri.
John Lennon bilang, "Life begins at forty."
Tapi, aku pikir, "If we prepare something for the forthcoming from now, why not?"
Bandung, 22 Agustus 2012
Tags:
ultahpedia