Cinta Yang Sebenarnya

Lebaran sebentar lagi sob, udah pada mudik belum? Hehe, saya udah nih, sejak pekan kemaren nyampe ke tempat lahir beta. Kebetulan liburan semesterannya lumayan panjang, nembus sampe bulan Ramadhan dan lebaran tentunya. Halah, dulu ngebet pengen liburan, eh pas udah libur pengennya kuliah, jenuh euy, ga ada kegiatan. Yap, rencana bulan Ramadhan yang pernah saya tulis di postingan beberapa pekan lalu gagal. Katanya letter of intentnya belum disetujui pihak perusahaan BUMN itu. Hmm… memang bukan rejeki saya mungkin.

Bersyukur banget bisa ngalamin mudik lagi, kayak orang-orang. Alhamdulilah orangtua saya masih lengkap, patut disyukuri melihat banyak teman saya yang sudah ditinggalkan salah satu bahkan kedua orangtuanya. Hehe, emang sih saya sering membantah omongan mereka, jarang menuruti nasihat mereka, dan keras kepala tentunya. Hmm... hampura mah, pa.
Ngomong-ngomong orangtua, ternyata banyak hal unik yang bikin ketawa atau malah bikin sedih mengenai mereka. Hehe, postingan ini bakal dipenuhi curhatan saya nih, kalian siap-siap untuk jenuh deh sob :D

Mulai dari mamah. Mamah adalah sosok yang gak akan pernah tergantikan perannya. Tidak ada orang lain yang bisa mengkudeta mamah dalam kehidupan saya. Beliau orangnya perhatian banget sama anak-anaknya. Tapi, saking perhatiannya, beliau sering stress sendiri. Padahal gak bagus juga mengingat tidak ada siapa-siapa lagi yang tinggal di rumah selain mamah dan ayah. Tidak ada anak-anak yang siap siaga 24 jam mengantar beliau ke dokter kalo asmanya kambuh. Lalu, mamah juga tipe orang yang suka sekali ngobrol, bertolak belakang dengan saya yang 'dingin'. Kalo saya pulang kampung sebulan sekali, adaaa aja bahan obrolan baru yang beliau ceritakan. Dan, seperti biasa.. di lingkungan manapun, saya adalah pendengar setia. I just say, "mmhhh", "ooohhh", "hah, masa iya?", dan "....."

Lalu, ayah. Ayah merupakan inspirator bagi hidup saya. Ayah adalah sosok yang tegas tapi di lain waktu merupakan pribadi yang humoris. Beliau juga orangnya keras kepala (sama seperti saya), tapi seringkali juga mengalah demi kami keluarganya. Tapi, sejak terserang stroke dua tahun yang lalu, kepribadian beliau banyak berubah. Ayah yang dahulu pekerjaannya bertemu dengan anak didiknya, rapat, pertemuan, - for you know, beliau seorang pensiunan guru - maupun rapat di RW, sekarang beliau menjadi orang yang minderan. Ayah yang dulu dikenal sebagai sosok yang hangat dan bijaksana di lingkungannya, sekarang keluar rumah pun jarang. Entah kenapa beliau bisa berubah. Tapi, menurut saya sih, orang yang pernah terserang stroke, pasti akan ada efek samping yang cenderung permanen menyerang pasien tersebut. Kalo kebetulan sedang mengambil obat ayah ke rumah sakit, saya sering melihat banyak pasien stroke yang lumpuh - menggunakan kursi roda - kemudian pasien yang bibirnya bergerak setiap jeda waktu tertentu. Mungkin mereka pasien stroke yang mengalami penyerangan pada bagian fisik dan organ (sori salah, saya gak belajar biologi waktu STM, hehe). Nah, yang terjadi pada ayah, sepertinya stroke menyerang bagian syarafnya. Maka gejala-gejalanya adalah mudah sekali marah, sering menangis mendadak, percaya diri yang menurun, dan lain-lain. Hmm.. mungkin kita lah yang mesti memaklumi kondisi beliau saat ini, bukan mensesalinya.

Setiap kali saya pulang ke rumah orangtua sekali sebulan, sering saya dibuat geleng-geleng kepala, heran. Heran melihat ayah yang sepanjang hari nongkrong di depan televisi. Heran melihat mamah yang sepanjang hari berkutat di dapuuuurrr terus. Mereka seperti asyik dalam dunia dan sangkarnya masing-masing. Kemudian, sering juga mereka terlibat perkelahian kata-kata, miss komunikasi. Emang sih, dari dulu juga mereka kadang-kadang melakukan hal konyol itu. Tapi, sejak ayah sakit, sepertinya mereka jauh lebih sering terlibat pertengkaran kecil. Mula-mula saya ikut campur, kadang-kadang saya berada di pihak ayah, dan terkadang di pihak mamah. Tapi ternyata itu tidak membantu. Mereka teteeuupp saja begitu, gak berubah juga, gak ada yang mau ngalah.

Terkadang saya menyalahkan keadaan, kenapa saya dilahirkan sebagai anak bungsu. Memang sih anak bungsu itu sering dimanja, baik oleh orangtua maupun oleh kakak-kakaknya. Tapi ternyata malah banyak pahitnya sob. Anak bungsu itu harus siap menghadapi orangtua yang usianya mulai lanjut, mulai terserang penyakit demi penyakit, dan jiwa orangtua yang tidak semuda dulu lagi. Lalu, ketidakharmonisan hubungan kakak-kakak, ada kakak yang bermasalah dengan kakak yang ini lah, dengan kakak yang anu lah, ya gitu deh.

Sebenarnya anak bungsu banyak belajar dari keadaan yang pahit sekalipun. Anak bungsu banyak belajar dari kondisi fisik maupun jiwa orangtuanya yang mulai memasuki usia lanjut, tentunya banyak berubah dibanding dulu. Anak bungsu banyak belajar dari kakak-kakaknya yang mempunyai sifat, ego, dan karakter berbeda-beda. Anak bungsu banyak belajar dari kekurangan kakak-kakaknya. Saking seringnya belajar semua itu, sampai-sampai jadi tidak sempat untuk belajar kuliah, hehe #alibi.

Yap.. tapi sekarang kekecewaan saya berubah 180 derajat. Saya malah bersyukur menjadi anak bungsu yang kata orang manja itu. Karena dilahirkan sebagai anak bungsu, saya banyak belajar.

Kemudian, saya sudah memaklumi pertengkaran kecil maupun besar yang kerap kali terjadi pada kehidupan orangtua saya. Itu sih urusan hati, gak bisa diintervensi. Sepertinya Allah SWT. menciptakan cinta itu bukan untuk mencintai yang manusia cintai aja, tapi untuk mencintai juga yang manusia benci. Bahkan ada sebuah quote, "If you make a girl laugh, she likes you, but if you make her cry, she loves you." Kalo quote itu dicerna, kemudian direlevansikan dengan kehidupan nyata, sepertinya memang begitu. Orangtua saya misalnya. Mereka memang sering bertengkar, dan tak jarang menimbulkan banjir air mata. Tapi, mereka sudah maklum dengan hal itu, karena mereka sudah terlanjur jatuh cinta satu sama lain. Mereka mampu bertahan dalam tali pernikahan selama 41 tahun lamanya. Selama 41 tahun itu tentu saja bukan hanya cinta yang mewarnai hidup mereka, malah saya pikir hidup mereka lebih banyak pahit daripada manis. Tapi, mereka mempunyai obat penawar pahit itu. Penawar itu adalah komitmen, rasa saling memiliki, dan tentu saja, cinta. 

Cinta tanpa komitmen hanyalah bualan belaka.

Dan, komitmen tanpa cinta hanyalah hubungan profesional layaknya karyawan sebuah perusahaan, tidak ada rasa saling memiliki sama sekali. Jarang ada tangisan, tetapi sekalinya ada, langsung CUT. Jarang ada pertengkaran, tapi sekalinya ada langsung di-PHK. Kalo komitmen sudah hancur, hancurlah sudah hubungan seseorang, layaknya perusahaan yang gulung tikar

Itulah cinta yang sebenarnya. Pahit, tapi kepahitan itulah yang membuat cinta menjadi manis.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama